ROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA
KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Dalam setiap proses belajar mengajar,
pengajar sebaiknya mengutamakan peristiwa atau kegiatan pendampingan yang
terarah. Tulisan dalam buku ini lebih
merupakan panduan bagi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
sebagai calon guru dalam menghadapi siswa-siswanya di kelas maupun di luar
kelas dalam bidang bimbingan dan konseling di sekolah.
Dalam tulisan ini disajikan panduan yang cukup lengkap namun
singkat untuk mempelajari bimbingan dan konseling sebagai ilmu, yang dapat mendasari
praktiknya. Diharapkan dengan diterbitkannya tulisan ini mahasiswa sebagai
calon guru dapat mendampingi siswanya agar dapat mencapai hasil belajar
maksimal apabila mereka menjadi guru di kemudian hari. Diharapkan pula melalui
tulisan dalam buku ini pendampingan dapat berlangsung secara efektif dan
efisien.
Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pendamping siswa di sekolah sesuai dengan tujuannya.
Yogyakarta,
Desember 2008
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................... 3
BAB I BIMBINGAN DAN KONSELING ....................................... 4
A. Latar Belakang ……………………………………………….... 4
B. Definisi Bimbingan dan Konseling ....................…………… 5
C. Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan
Konseling ............................ 7
D. Asas dan Prinsip-prinsip Bimbingan
dan Konseling......................... 7
E. Hubungan Bimbingan dan Konseling dengan
Ilmu-ilmu Lain.......... 8
BAB II
PROGRAM BIMBINGAN DI SEKOLAH.............................. 10
A. Bentuk, Ragam dan Sifat
Bimbingan………………………………. 10
B. Pola pelaksanaan Program Bimbingan……………………………… 11
C. Permasalahan Program
Bimbingan…………………………………. 13
D. Petugas Bimbingan…………………………………………………. 14
BAB III ALAT MEMPEROLEH DAN MENYIMPAN
DATA………. 15
A. Alat untuk Memperoleh dan Menyimpan
Data……………………... 15
B. Alat Untuk Menyimpan
Data……………………………………….. 23
BAB IV KONSELING…………………………………………………. 25
A. Masalah Utama Dalam
Konseling…………………………………… 26
B. Komponen Layanan
Konseling……………………………………… 26
C. Hubungan Bimbingan dan
Konseling……………………………….. 27
D. Jenis dan Metode Konseling………………………………………… 29
E. Studi Kasus…………………………………………………………... 32
F. Teknik Konseling…………………………………………………….. 33
G. Teori-Teori Konseling………………………………………………. 37
BAB V BIMBINGAN KELOMPOK…………………………………… 46
A. Bimbingan Kelompok………………………………………………… 46
B. Konseling
Kelompok…………………………………………………. 49
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 51
BAB I
BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Latar Belakang
1. Sejarah kegiatan bimbingan dan konseling
Bimbingan dan konseling (guidance and
counseling) berkembang di Amerika Serikat. Perkembangan awal bimbingan di
Amerika sangat dipengaruhi kondisi awal tahun 1900, khususnya pada saat dunia
industri berkembang pesat. Perkembangan industri tersebut berdampak negatif pada para remaja, khususnya yang tinggal di
kota-kota industri.
Penduduk Amerika kebanyakan imigran, sehingga banyak permasalahan yang
berkaitan dengan keberagaman mereka. Selain itu selaras dengan perkembangan
jaman dan perkembangan industri, urbanisasi merupakan gejala yang mendunia.
Daerah-daerah kumuh di sekitar lokasi industri atau daerah kota yang padat
menimbulkan berbagai masalah. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah
Federal mengusulkan program yang mendorong usaha yang lebih besar dalam hal melengkapi pendidikan karir atau pekerjaan
dan lowongan pekerjaan untuk mengurangi situasi kumuh dan kehidupan di bawah
standar kelayakan (slums and substandard
housing). Hal ini dimaksudkan untuk memerangi kejahatan dan kenakalan
remaja dan mendukung program baru dan inovatif dalam bidang pendidikan untuk
mengatasi permasalahan yang ada.
Adapun
permasalahan yang ada dapat digolongkan menjadi:
a.
permasalahan psikologis (psychological needs): masalah ini
berkaitan dengan bangsa yang modern
atau berkembang biasanya
mempunyai banyak problem. Dalam hal ini misalnya: perkembangan dari masyarakat
pertanian ke masyarakat industri.
b. permasalahan
sosiologis (sosiological needs): masyarakat
merasa rugi bila warganya memilih jabatan yang salah.
c. masalah
pengukuran (measurement) : pengukuran
dimaksudkan untuk dapat menempatkan seseorang pada bidang yang sesuai dengan
kemampuannya. Untuk itu diperlukan alat pengukuran yang baik.
d. pengaruh
Psikologi Gestalt dan Behaviorisme: dengan berkembangnya kedua aliran psikologi
tersebut ada perkembangan baru dalam dunia pendidikan Dulu pendidikan lebih menekankan penguasaan materi
pelajaran, masa sekarang pendidikan lebih menekankan perkembangan kepribadian
sasaran didik secara menyeluruh.
Aliran ini juga mendukung
perkembangan siswa sesuai dengan variasi kemampuan seperti yang dikemukakan teori
kecerdasan jamak (multiple intelligences).
2. Terjadinya kegiatan bimbingan dan
konseling
Menurut Mathewson, sekitar tahun 1898 – 1907 Jesse B. Davis memulai program
konseling di Rapids Michigan High School. Pada tahun 1908 Frank Parsons
mendirikan Vocational Bureau di Boston. Parsons sering disebut sebagai “Bapak
Bimbingan”. karena beranggapan bahwa bimbingan dapat diberikan kepada kaum muda
agar mereka mengerti kemampuan dan kelemahannya. Dengan mengetahui hal itu
diharapkan mereka dapat menggunakannya untuk memilih lapangan pekerjaan yang
tersedia. Kegiatan ini disusul dengan konperensi tentang bimbingan dan
konseling di Boston (1910). Pendirian National
Vocational Guidance Association (NVGK) memberikan sumbangan yang berarti
terhadap perluasan program bimbingan di
sekolah. Pada tahun 1911 program bimbingan sudah masuk di perguruan tinggi
sebagai matakuliah di Harvard.
Selanjutnya terjadi
perkembangan karir atau jabatan ke bimbingan di sekolah. Hal ini diikuti
perkembangan bimbingan menjadi tiga bagian:
a. perkembangan bimbingan dalam hal
pengertian diri
b. perkembangan syarat-syarat sukses
dalam bidang pekerjaan atau karir dan
c. hubungan antara ke dua perkembangan
tersebut.
Di
Indonesia bimbingan telah dikenal melalui praktek perdukunan, paranormal,
klenik, dan sebagainya. Selain itu pada tahun 1950 telah dikenal kantor
penempatan tenaga (KPT) atau Departemen
Tenaga Kerja (Depnaker) pada masa sekarang. Melalui instansi ini disalurkan
tenaga kerja ke segala bidang pekerjaan yang membutuhkan. Namun kegiatan
bimbingan dan konseling baru dikenal sepuluh tahun kemudian sesudah konperensi
Bimbingan dan Konseling yang pertama di IKIP Malang pada tahun 1960.
Perkembangan terakhir yang dapat dipantau adalah: secara normatif dan
psikologis sudah ada kesadaran tentang penting program bimbingan dan konseling
di sekolah. Namun demikian ada kesulitan ialah tentang kedudukan konselor di
sekolah. Kedudukan konselor sering disamakan dengan kedudukan guru atau pegawai
administrasi, padahal tugas mereka berbeda.
B. Definisi Bimbingan dan Konseling
Secara
umum bimbingan dan konseling adalah bidang khusus dari pendidikan yang
memberikan saluran-saluran yang sesuai dengan kepribadian peserta didik, serta
memberikan pelayanan khusus yang dikelola sekolah oleh ahli bimbingan yang ada.
Harapannya adalah setiap peserta didik dapat berkembang ke arah maksimal sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Untuk itu ada bermacam-macam definisi bimbingan dan konseling,
antara lain:
1. Definisi bimbingan:
a. Guidance
is a process of helping individual through their own effort to discover and
develop their potentialities both for personal happines and social usefullness (Year
Book of Education: 1955).
b. Guidance
is assistance made available by personally qualified and adequatly trained men
or women to an individual of any age to help him manage his own life of activities, develop his points of view, make
his own decision and carry his own burden (Crow, L. And Crow, E.: 1960).
c. Guidance
is the process of helping individual to understand himself and the world around
him, and to gain knowledge of implication of this understanding for educational progress, career development and
personality fullfilment (Dictionary of Education: 1973).
d. Gudance
is a form of systematic assistance to student or other to help them to asses
their abilities and liabilities and use that information effectively in daily
living (Dictionary of Education: 1973)
e. Guidance
is a process of helping individuals to understand themselves and their world (Shertzer and Stone: 1981).
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan kata-kata kunci bimbingan sebagai berikut:
a. suatu proses, maksudnya bimbingan
adalah suatu fenomena yang menunjukkan kontinyuitas perubahan melalui waktu
atau serangkaian kegiatan dan langkah menuju ke suatu tujuan.
b. usaha bantuan, maksudnya bimbingan
adalah usaha menambah, mendorong, merangsang, mendukung, menyentuh, menjelaskan
agar individu tumbuh berdasarkan kekuatannya sendiri.
c. konseli atau peserta bimbingan
adalah individu normal yang sedang dikenai masalah dan memerlukan bantuan dalam proses perkembangannya.
d. konselor adalah individu yang ahli
dan terlatih serta mau memberikan bantuan kepada konseli. Bantuan juga sering
diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, guru mata pelajaran yang lain,
psikolog, katekis, dll.
2. Definisi konseling:
a. Counseling
is a series of direct contact with the individual which aims to offer him
assistance in changing his attitude and behavior ( Rogers, C.R.: 1942).
b. Counseling
may, therefore, be define as person to person process in which one person is
helped by another to increase in understanding and ability to meet his problems
(Mortensen and Schmuller: 1964)
c. Counseling
is a personal, face to face relationship between two people in with, a
counselor, by means of relationship and his special competencies, provide a
learning situation in which the couselee, a normal sort of person, is help to
know himself and his present and possible future situation (Tolbert, E.L.:
1972).
d.
Counseling is an interactions process that facilities meaningful understanding
of self and environment, and result in the establishment and or clarification
of goals and values for future behavior (Shertzer and Stone: 1980).
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konseling adalah bentuk khusus
bimbingan. Kegiatan konseling berlangsung dalam hubungan tatap muka antara
konselor dan konseli. Konselor adalah seorang ahli dan konseli adalah siswa
atau orang normal yang sedang mempunyai masalah.
Dalam
bidang bimbingan dan konseling, istilah konseling menunjuk pada proses
pelaksanaan kegiatan; konselor adalah ahli atau orang yang berwenang
melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling sedangkan konseli atau klien adalah siswa atau orang yang dikenai proses
konseling.
C. Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling
1. Tujuan bimbingan dan konseling
Tujuan bimbingan dan konseling
adalah:
a. dapat mencapai taraf perkembangan
maksimal terutama dalam hasil belajarnya
b. dapat mencapai penyesuaian dan
prestasi yang memadai
c. dapat mengarahkan diri sesuai
dengan potensi yang dimiliki
d. mampu memecahkan masalahnya sendiri
e. dapat melihat dan menerima diri
secara realistis
f. dapat menghindarkan diri dari rasa
cemas dan salah suai.
2. Fungsi bimbingan dan konseling:
a. Secara umum fungsi bimbingan dan
konseling adalah:
1) membantu kepala sekolah, terutama
dalam penyediaan data tentang keadaan sekolah
2) memberikan pelayanan dan penerangan
kepada siswa tentang situasi sekolah dan situasi mereka
3) penempatan siswa, misalnya:
pemilihan jurusan
4) pelayanan lanjutan: dapat oleh konselor atau apabila diperlukan
dapat dialihtangankan ke pihak lain (misalnya: dokter, psikolog atau ahli yang
lain).
b. Fungsi bimbingan dan konseling
untuk pimpinan sekolah:
1)
mengadakan observasi dan penyelidikan tentang keadaan sekolah, baik dari
segi material maupun pelaksanaan kurikulum
2) menyediakan data untuk membantu
kepala sekolah
3) mencari jalan atau bentuk konkrit
agar masing-masing informasi dimanfaatkan secara tepat dan benar.
c. Fungsi bimbingan dan konseling
untuk siswa:
1) fungsi penyaluran (distributive): menyalurkan kemampuan
atau bakat-bakat siswa
2) fungsi penyelarasan (adaptive): bertindak
atau bertingkah laku sesuai dengan situasi dan bersifat sementara, misalnya:
mempelajari tata cara.
3) fungsi penyesuaian : bertindak dan
bertingkah laku sesuai dengan situasi dan bersifat terus menerus, misalnya:
menghayati sopan santun atau nilai-nilai yang ada di lingkungannya.
Khusus
untuk tujuan wawancara konseling menurut Shertzer,B. dan Stone,S. :
a. menciptakan hubungan baik antara
konselor dan konseli
b. meredakan ketegangan
c. memberi informasi
d. mendorong ke arah pemahaman diri
e. mendorong ke arah penyusunan
konstruktif.
D. Asas dan Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
a. Asas bimbingan (Winkel, W.S.):
1). membantu orang lain dalam
pengembangan diri
2). corak komunikasinya “ helping
relationship”
3). melayani individu yang normal
4). hubungan bersifat memandirikan
orang lain.
b. Prinsip-prinsip bimbingan:
1). Prinsip bimbingan secara umum:
a) bimbingan memberi perhatian utama
dan sistematis pada perkembangan individu
b) cara bimbingan dilaksanakan
tergantung pada proses perilaku mahasiswa, individu atau siswa
c) kerjasama antara konselor dan
konseli tanpa ada paksaan
d) setiap manusia mempunyai kemampuan
untuk mengembangkan diri, konselor harus percaya
e) mengakui harkat dan martabat
konseli
f) bimbingan adalah proses pendidikan
yang kontinu.
2). Prinsip pelayanan dalam bimbingan:
a) pelayanan diberikan kepada semua
siswa dan berpusat pada siswa
b) ada kriteria yang mengatur proses
pelayanan
c) sesuai dengan kebutuhan siswa dan
keputusan pada siswa
d) individu yang dibimbing
berangsur-angsur harus mandiri.
3). Prinsip khusus yang berkaitan
dengan konselor berkenaan dengan kemampuan, kualitas kepribadian, pendidikan
dan pengalaman:
a) mampu menggunakan informasi atau
data yang tersedia
b) menjaga kerahasiaan dan menghormati
konseli (klien)
c) dapat menggunakan berbagai metode, teknik, hasil penelitian, dan
lain-lain.
E. Hubungan Bimbingan dan Konseling Dengan Ilmu-ilmu Lain
1. Hubungan bimbingan dan konseling dengan bidang
pendidikan:
Dalam bidang pendidikan
formal, pada umumnya meliputi tiga ruang
lingkup ialah:
a. bidang instruksional dan kurikuler
b. bidang administrasi dan
kepemimpinan
c. pembinaan kesiswaan; dalam bidang
inilah bimbingan dan konseling berperanan, sebab ada masalah tertentu yang
tidak selalu dapat dipecahkan oleh pengajar. Bimbingan membantu pendidikan
karena ada tendensi peserta didik ikut arus sebagai akibat adanya pengarahan
yang kuat dan adanya penilaian dalam sistem pendidikan. Berhubung dalam
bimbingan dan konseling tidak ada penilaian, maka arah bimbingan adalah agar
peserta didik dapat mengikuti secara aktif seluruh proses pendidikan di
sekolah.
2. Hubungan bimbingan dan konseling dengan Psikologi:
Dalam setiap proses bimbingan
dan konseling sebaiknya disertai pengetahuan tentang dasar-dasar psikologis
individu atau konseli. Dalam hal ini biasanya yang terkait adalah: Psikologi Pendidikan,
Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian.
3. Hubungan bimbingan dan konseling dengan
kurikulum:
Bimbingan terdapat dalam
kurikulum. Dalam pelaksanaan di sekolah, bimbingan membantu terlaksananya
kurikulum agar berjalan dengan lancar. Tercapainya pelaksanaan kurikulum harus
disertai adanya interaksi yang baik antara guru, peserta didik dan proses
belajar mengajar.
4. Hubungan bimbingan dan konseling dengan
psikoterapi:
Bimbingan dan konseling
ditujukan untuk orang yang relatif sehat, namun memiliki kesulitan dalam
memecahkan masalah dalam kehidupannya. Konseling menekankan perencanaan
rasional, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan dukungan terhadap usaha
pemecahan masalah dalam menghadapi tekanan situasional yang timbul dalam
kehidupan. Sebaliknya psikoterapi diartikan sebagai upaya yang menekankan
“pendidikan kembali” seorang individu. Jadi tujuan utama psikoterapi adalah
membantu klien memperoleh keteraturan kembali tentang persepsi dirinya,
memadukan wawasan tentang dirinya ke dalam kehidupan sehari-hari dan hidup
dengan perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul di masa lampau.
Menurut Leona Tyler, meskipun
ada perbedaan namun psikoterapi sangat membantu dan menyarankan agar konselor
menggunakan suatu terapi “perubahan
yang minimum” yang penggunaannya
disesuaikan dengan problem yang ada. Blocher menekankan perbedaan lebih pada
asumsi-asumsi, hasil dan menunjuk perkembangan konseling mengarah pada tujuan
yang bersifat “ developmental – educative – preventive”, sementara psikoterapi
menekankan tujuan “ remediative –
adjustive – therapeutic”.
BAB II
PROGRAM BIMBINGAN DI SEKOLAH
A. Bentuk, Ragam dan Sifat Bimbingan
1.
Bentuk bimbingan:
Bentuk bimbingan menyangkut
jumlah siswa yang dibimbing. Oleh karena itu ada dua bentuk bimbingan, ialah:
bimbingan kelompok dan bimbingan individual.
Bimbingan kelompok adalah bimbingan
yang diberikan kepada sekelompok siswa atau orang untuk memberikan informasi
atau penerangan tentang masalah-masalah yang tidak dibicarakan dalam pelajaran
di kelas atau di pertemuan formal yang menyangkut segi pembelajaran. Isi materi
dapat menyangkut soal pergaulan, cara belajar, adat kebiasaan, seksualitas,
dll. Adapun bimbingan individual biasanya lebih mengarah ke kegiatan konseling.
2. Ragam bimbingan:
Ragam bimbingan menyangkut segi
masalah yang dihadapi dalam pelayanan. Ada tiga ragam bimbingan, ialah:
a. Bimbingan belajar atau pendidikan (educational
guidance): bimbingan ini adalah bimbingan dalam menemukan cara belajar yang tepat untuk
mengatasi kesukaran-kesukaran mengenai belajar dan dalam memilih jenis atau
jurusan yang sesuai dengan kemampuan siswa (Winkel, W.S.). Ruth Strong
merumuskan bimbingan pendidikan sebagai bantuan yang diberikan kepada siswa
agar siswa dapat memilih program yang sesuai untuk dirinya dan mencari kemajuan
melalui program yang dipilihnya. Bimbingan pendidikan mempunyai kaitan langsung
dengan proses belajar mengajar. Oleh karena itu setiap pelayanan bimbingan
harus dicarikan kaitannya dengan proses pengajarannya, ialah dengan cara
seleksi, penempatan, proses belajar mengajar, evaluasi, input lingkungan, dan
sebagainya.
b. Bimbingan pekerjaan (Vocational
giudance): bimbingan ini merupakan asal mula dari kegiatan bimbingan yang lain.
Dalam simposium bimbingan jabatan di
Jakarta (1975) dirumuskan konsep
bimbingan jabatan atau pekerjaan sebagai
berikut: bimbingan jabatan adalah proses
bantuan terhadap seseorang sehingga orang tersebut mengerti dan menerima
gambaran tentang diri pribadinya dan gambaran tentang dunia kerjanya, serta
mempertemukan keduanya, sehingga akhisrnya dapat mempersiapkan diri dalam
memasuki bidang kerja tertentu dan
membina diri dalam bidang pekerjaan tersebut. Kurikulum 1984 merumuskan
bimbingan jabatan sebagai bimbingan karir yang berarti proses bantuan kepada
individu agar memperoleh pemahaman diri dan dunia kerja, agar ia mampu
mengarahkan diri ke suatu bidang kehidupan yang sesuai dan selaras dengan dirinya
dan masyarakat. Bimbingan karir dapat dilihat dari dua pendekatan, ialah pendekatan
yang berpusat pada masalah dan yang berpusat pada pengembangan. Pendekatan
masalah memiliki lima teknik, ialah:
1) penyembuhan (remediation)
2) penawaran jabatan (career selling)
3) kesadaran diri terhadap karir (career self awareness)
4) mencari pekerjaan itu sendiri (job seeking)
5) anti diskriminasi.
Teknik
di atas didasarkan pada asumsi bahwa individu memiliki masalah dalam memilih
karir, misalnya: ia tidak memiliki dalam mencari pekerjaan. Sedangkan teknik
diskriminasi, misalnya: ajaran gereja melarang wanita menjadi imam Katolik.
Jadi masalahnya berada di luar pencari kerja. Kelima teknik dapat dipilih dan
dipadukan sesuai dengan pertimbangan kebutuhan konseli.
Pendekatan pengembangan berdasarkan pada sasaran pengembangan karir
di sekolah dasar, menengah dan di Perguruan Tinggi.
c. Bimbingan pribadi dan sosial: berkaitan dengan
pengembangan pribadi siswa dan hubungannya dengan orang lain. Semakin dewasa
individu semakin banyak masalah pribadi dan sosial yang mereka hadapi.
3.
Sifat bimbingan
Sifat bimbingan: menyangkut
maksud pembimbing dalam memberikan bimbingan. Ada lima sifat bimbingan, ialah
a. pencegahan (preventif), misalnya: penerangan tentang narkoba, seks bebas,
kesehatan produksi, dan lain-lain (dll.).
b. mengikuti perkembangan siswa atau
mendampingi siswa dalam perkembangannya yang sedang berlangsung (perseveratif), misalnya: observasi
kemajuan siswa, pendampingan perkembangan siswa, dll.
c. pemeliharaan (treatment), misalnya: mendampingi perkembangan pemikiran yang ada ke arah positif, pendampingan perilaku agar tidak menyimpang, dll.
d. Pembetulan (corrective): membimbing perilaku yang menyimpang
e. Penyembuhan (remediation): menyembuhkan hal-hal yang salah terutama dalam
belajar.
B. Pola Pelaksanaan Program Bimbingan
1.
Pola program bimbingan menurut
pandangan generalis (generalism)
a. Dasar-dasar pandangan:
1) dalam suatu lembaga pendidikan
seluruh suasana belajar berpengaruh pada kualitas dan kuantitas pelajaran siswa
2) setiap orang dalam lembaga
menyumbangkan sesuatu untuk perkembangan siswa.
b. Ciri-ciri pandangan generalis:
1) konselor penting peranannya di
sekolah
2) ada desentralisasi administrasi
bimbingan di bawah koordinator konselor
3) petugas spesialis disatukan dalam
program kerja yang terintegrir (apabila ada petugas khusus tidak bertindak
sendiri, tetapi masuk dalam program yang ada)
4) hasil tekanan pandangan ini: bidang
gerak bimbingan dan pelayanan menjadi luas, meliputi: absensi, program
remedial, evaluasi dan riset, dll.
c. Kelebihan pandangan ini: adanya
prinsip-prinsip dan pandangan teoritis yang luas, menghendaki persiapan
teoritis dan praktis yang memadai dari petugas bimbingan.
d. Kelemahan pandangan ini: petugas
bimbingan seolah-olah menjadi orang yang tahu segala-galanya.
2.
Pola program bimbingan menurut
pandangan spesialis (specialism):
a. Dasar pandangan : pola ini timbul
akibat kebutuhan akan pelayanan khusus dalam bidang bimbingan dari para ahli (testing,
remedial, psikologi klinis, dll.)
b. Ciri-ciri pola pandangan ini:
1) pelayanan lebih bersifat individual
2) kecenderungan sentrifugal
(pelayanan khusus berjalan sendiri-sendiri), karena itu dibutuhkan koordinator
dalam pelaksanaannya
3) kualitas pelayanan ditingkatkan.
c. Kelebihan pola pandangan ini adalah
menekankan kualitas pelayanan, apabila dikoordinir dengan baik.
d) Kelemahan pola pandangan ini:
1) beaya mahal; guru dianggap tidak
kompeten dalam menolong siswa
2) ada kesenjangan antara tenaga ahli
dan staf pengajar.
3.
Pola program bimbingan
kurikuler (curricular design):
a. Dasar pandangan: ada masalah-masalah
tertentu yang berkaitan dengan situasi siswa yang kurang dibahas dalam kegiatan
pengajaran, misalkan; pergaulan, etika, sosialisasi, seksualitas, dll.
b. Ciri-ciri pandangan ini:
1) ada pelajaran khusus bimbingan
(sebagai mata pelajaran yang masuk kurikulum)
2) isi kursus disusun dalam textbook
(siswa membaca lalu berdiskusi, diikuti tes)
3) kursus lebih menekankan penguasaan
materi (tes terlebih untuk melihat pemahaman siswa dalam permasalahan dan
pemecahannya)
4) ada petugas khusus, terutama untuk
wawancara konseling
5) ada usaha integrasi alat-alat
bimbingan dengan kegiatan kursus (wawancara, kerja kelompok, studi kasus, tes
psikologi, dll).
c. Kelebihan pandangan ini:
1) ada ikatan antara guru dan petugas,
karena konselor juga mengajar di kelas
2) pengetahuan siswa bertambah
lengkap.
d. Kelemahan pandangan ini:
1) beaya menjadi mahal
2) petugas harus benar-benar ahli
sebagai guru dan pembimbing.
4. Pola program bimbingan
relasi manusiawi dan kesehatan mental (human relations and mental health):
a. Dasar pandangan: seseorang dapat
bertindak secara efektif sebagai seorang individu apabila ia dapat mengerti dan
menerapkan prinsip-prinsip kesehatan mental yang sehat (keseimbangan antara
faktor intelektual dan emosional).
b. Ciri-ciri pandangan ini:
1) ada konsep yang luas tentang
perkembangan pribadi yang menekankan pengertian akan diri sendiri dan
kematangan
2) dalam pendekatan ini ditekankan
integrasi usaha semua tugas pendidikan di sekolah
c. Kelebihan pola pandangan ini:
menekankan integrasi belajar dalam diri siswa
d. Kelemahannya: terletak pada petugas
bimbingan yang benar-benar harus ahli dalam menggunakan alat-alat bimbingan:
tes, skala pengukuran, kerja kelompok, analisis kasus, sosio drama, dll.
5. Pola program bimbingan menurut pandangan
modern :
a. Dasar pandangan: lebih menekankan
siswa sebagai pusat bimbingan. Bimbingan adalah alat utama untuk
mengindividualisasikan siswa.
b. Ciri-ciri pola pandangan ini:
bimbingan ini bertujuan membentuk pribadi yang bebas dan bertanggung jawab
serta mampu memecahkan masalah.
c. Kelebihan pola pandangan ini:
menghargai eksistensi siswa dan mengembangkan potensi untuk menjadi orang yang
mandiri.
d. Kelemahannya: apabila bimbingan
terlalu menurut pada kehendak siswa atau arah bimbingan kurang jelas, maka
bimbingan akan salah arah.
Arah
bimbingan dengan pola program ini lebih terpusat pada siswa agar dapat menjadi
individu yang mandiri.
Di
antara ke lima pola program di atas penerapannya tergantung pada banyak hal,
misalnya: beaya, situasi, tenaga, kebutuhan setempat, dll.
C. Permasalahan Program Bimbingan
Pada umumnya permasalahan
dalam bimbingan dan konseling dapat dikelompokkan menjadi permasalahan dalam
hal:
1. Sosiokultural: permasalahan ini menyangkut pertambahan penduduk,
kemajuan teknologi yang demikian cepat, perubahan budaya di masyarakat,
2. perkembangan pendidikan:
berkaitan dengan grading system
yang dianut pemerintah, karena dalam kenyataan selalu terdapat permasalahan di
setiap tingkat pendidikan. Demikian juga perbedaan individu dalam satu kelas,
yang kadang memerlukan perhatian khusus dari guru atau pembimbing. Selain itu
bentuk kurikulum yang berubah-ubah dapat membingungkan guru maupun siswa yang
sedang belajar.
3. perkembangan individu: berkaitan dengan usia dan usia sekolah siswa.
4. perbedaan individu: berkaitan dengan perbedaan minat, bakat, kecerdasan,
kebiasaan, vitalitas psikis individu, dll.
5. kebutuhan individu: menyangkut pemenuhan individu dan
kendala-kendalanya.
6. penyesuaian dan penyelarasan diri: menyangkut kondisi dan situasi yang
di hadapi siswa yang sedang belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah,
yang dapat mempengaruhi kemajuan hasil belajarnya.
7. kegiatan belajar: mengidentifikasi faktor-faktor yang mendukung atau
menghambat proses belajar siswa.
Khusus untuk bimbingan
di sekolah, masalah dapat dirinci sebagai berikut:
1. masalah siswa usia 14 – 18 tahun: masalah lebih pada berkaitan dengan
pelajaran dan beban tugas dalam belajar.
2. masalah pada usia 18 – 22 tahun: permasalahan pribadi lebih dominan
dalam kehidupan mereka.
3. masalah pada usia lebih dari 22 tahun:
penekanan lebih pada masalah pribadi dan sosial.
D. Petugas Bimbingan
Petugas
bimbingan di sekolah dapat terdiri dari:
1. Tenaga ahli atau konselor: tenaga ini disebut juga full time guidance counselor,
ialah tenaga ahli yang seluruh perhatian dan waktunya dipusatkan untuk
pelayanan bimbingan.
2. Teacher counselor: guru yang
memperoleh keahlian tambahan dalam bidang bimbingan; jadi tenaga ini dapat
disebut dengan part time counselor.
3. Guru biasa: tenaga pengajar yang diikutsertakan dalam program bimbingan
dan konseling yang direncanakan oleh seorang koordinator (konselor). Bimbingan
dilakukan oleh guru mata pelajaran yang bersifat instructional guidance atau intensi-fikasi sebagai pengajar dan developmental guidance atau
intensifikasi sebagai tenaga pendidik.
4. Tenaga-tenaga lain: tenaga yang dapat menunjang lancarnya kegiatan
bimbingan dan konseling, misalnya: psikolog, guru agama, dokter, psikiater,
katekis, dll.
BAB III
ALAT MEMPEROLEH DAN MENYIMPAN DATA
A. Alat Untuk
Memperoleh Data
Alat untuk
memperoleh data ada dua macam, ialah: alat tes (testing) dan alat non tes.
1. Alat tes:
Tes adalah suatu metode psikologis untuk memperoleh informasi tentang
berbagai aspek dalam tingkah laku kehidupan batin seseorang, dengan menggunakan
alat pengukuran untuk menghasilkan deskripsi kuantitatif tentang aspek yang
diteliti. Menurut pembuatnya tes dapat disusun oleh suatu lembaga atau suatu
tim dan dapat juga disusun oleh perseorangan. Tes yang dihasilkan oleh suatu
lembaga disebut tes baku, sedangkan tes perseorangan biasanya disusun oleh guru
atau instruktur. Hasil tes perseorangan berupa pertanyaan-pertanyaan ulangan,
ujian, latihan-latihan keterampilan atau tes perbuatan, dll.
Alat-alat tes yang digunakan biasanya tes baku, yang memuat koleksi
persoalan, pertanyaan atau tugas yang mewakili (representatif) bagi aspek yang
akan diukur. Baku berarti cara penyelenggaraan tes, cara memeriksa dan
penentuan norma penafsirannya seragam. Norma penafsiran diperoleh dengan
memberikan tes itu kepada sekelompok orang yang dianggap mewakili (sampel)
untuk subyek-subyek yang dikenai tes. Subyek atau orang-orang yang dikenai tes
itu disebut populasi. Selain itu norma penafsiran diperoleh dengan menentukan
hasil rata-rata yang diperoleh dan penyimpangan dari hasil rata-rata tersebut
(Mean dan Standar Deviasi).
Tes yang baik
mengikuti persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat obyektif, artinya: dalam
penyelenggaraan, pemeriksaan dan penafsiran tidak tergantung pada pendapat pribadi
orang yang menggunakan alat itu.
b. valid, artinya:
harus ada kesesuaian antara apa yang diteliti atau diukur dalam tes dengan
aspek yang akan diteliti atau diukur. Misalnya: tes inteligensi harus
benar-benar mengukur kemampuan untuk mencapai prestasi sekolah, yang di
dalamnya berpikir memegang peranan pokok.
c. reliabel,
artinya: ada keajegan dalam hasil tes. Apabila seseorang mengerjakan suatu tes
pada waktu yang berlainan, hasilnya akan tetap sama. Selain itu apabila tes
digunakan oleh sejumlah subyek yang kurang lebih kemampuan dan kondisinya sama,
hasilnya akan sama pula. Oleh sebab itu reliabilitas juga disebut keterandalan.
Selain hal-hal di atas, perlu diingat juga, bahwa pembuatan tes dipengaruhi
hasil kebudayaan. Oleh sebab itu tes saduran dari luar negeri belum tentu
memenuhi persyaratan standardisasi dan obyektivitas dalam lingkungan kebudayaan
Indonsesia. Demikian juga tes lama harus selalu direvisi dan diperiksa kembali
validitas dan reliabilitasnya, sehingga benar-benar dapat mengukur kemampuan
atau keterampilan dari subyek yang mengerjakan tes tersebut.
Tujuan dari
penggunaan tes pada umumnya adalah untuk:
a. meramalkan atau
memperkirakan taraf prestasi atau corak perilaku seseorang di kemudian hari.
b. mengadakan
seleksi untuk menempatkan seseorang pada bidang yang sesuai dengan bakat, minat
dan kemampuannya.
c. mengadakan
klasifikasi untuk menentukan masuk dalam kelompok manakah seseorang harus
mengikuti program pendidikan atau jabatan tertentu.
d. mengadakan
evaluasi untuk memperoleh gambaran deskriptif tentang program studi, metode
mengajar, program rehabilitasi, dll., yang kemudian ditafsirkan.
Menurut yang akan
diukur, tes dapat dibedakan menjadi :
a. tes hasil belajar atau achievement
test, yang mengukur apa yang telah dipelajari oleh siswa atau seseorang.
b. tes kemampuan intelektual, yang mengukur taraf kemampuan berpikir,
misalnya: tes inteligensi dan kemampuan mental.
c. tes bakat khusus, yang mengukur taraf
kemampuan seseorang agar berhasil dalam program studi tertentu atau bidang
pekerjaan tertentu.
d. tes minat: yang
mengukur kegiatan macam apa yang disukai seseorang.
e. tes kepribadian, yang mengukur ciri-ciri kepribadian yang non kognitif,
misalnya: temperamen, corak emosi, relasi sosial, kesehatan mental, dll.
2.
Alat-alat non testing
a. Observasi:
Observasi adalah
alat pengumpul data yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) ada tujuan
pasti yang akan diungkap
2) direncanakan
secara sistematis
3) hasilnya
dicatat dan diolah sesuai tujuan
4) dapat
diperikasa validitas, reliabilitasnya dan akurasinya
5) bersifat
kuantitatif.
Untuk alat ini
kecermatan dan akurasi tergantung pada:
1) ada tidaknya prasangka pengamat pada obyek yang diamati
2) kemampuan fisik pengamat
3) kemampuan pengamat untuk mengingat dan memusatkan perhatian pada obyek
yang diamati
4) kemampuan pengamat dalam menghubung-hubungkan fakta
5) kemampuan pengamat dalam menggunakan alat pencatat
6) ketepatan penggunaan alat
pencatat
7) kemampuan pengamat untuk memahami seluruh situasi.
Menurut cara dan tujuannya,
observasi dapat dibedakan menjadi:
1) observasi partisipatif dan non
partisipatif: pengamat dapat turut secara langsung dan tidak langsung dalam
peristiwa yang sedang diamati.
2) observasi sistematis dan non sistematis: dalam mengamati, pengamat
membuat kategori atau tidak.
3) observasi eksperimental: observasi non partisipatif secara sistematis
untuk mengetahui perubahan-perubahan atau gejala-gejala sebagai akibat dari
situasi yang sengaja diadakan atau ditimbulkan.
Adapun
kelebihan observasi:
1) pengamatan adalah teknik atau alat yang langsung dapat
dipakai
2) memungkinkan adanya pencatatan
serentak, sehingga memungkinkan pencatatan data perolehan yang banyak atau
sesuai yang diperlukan.
3) melengkapi data yang diperoleh dengan alat-alat yang lain,
dll.
4) pengumpulan data tidak selalu menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dengan obyek yang diamati. Data dapat diperoleh melalui penglihatan,
pendengaran, pencecap, penciuman atau perabaan.
Kelemahan observasi adalah:
1) observasi sulit mengungkap hal-hal yang bersifat pribadi.
2) bila klien merasa diamati, tingkah laku dapat direkayasa.
3) sulit mengamati hal-hal yang timbulnya tidak dapat diramalkan.
4) pengamatan tergantung pada faktor-faktor yang dapat dikendalikan,
padahal banyak faktor yang sering tidak dapat dikendalikan.
b. Wawancara (interview)
Wawancara adalah pertemuan tatap muka antara konselor
dengan konseli untuk memperoleh data,
sehingga wawancara ini disebut wawancara informatif. Sedangkan wawancara
konseling adalah pertemuan tatap muka antara konselor dan konseli untuk mengolah
data. Selain itu wawancara juga
dapat dibedakan menjadi wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
Orang yang diwawancara disebut interviewee
atau klien, sedangkan yang mewawancara disebut inteviewer atau pewawancara. Khusus untuk bidang bimbingan dan
konseling pewawancara biasanya adalah konselor.
Adapun syarat-syarat
wawancara adalah:
1) ada pedoman dan tujuan wawancara yang jelas
2) wawancara dipergunakan dengan sikap
dan waktu yang jelas, misalnya: mengajukan wawancara dengan santun dan pada waktu yang
tepat.
3) sebaiknya berhati-hati terhadap jawaban klien, karena
jawaban klien biasanya bersifat subyektif.
4) sebaiknya berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan yang bersifat
pribadi.
Keuntungan memakai
wawancara adalah:
1) dalam wawancara biasanya ada tatap muka dengan klien, meskipun ada juga
wawancara tidak langsung, misalkan menggunakan telpon atau alat komunikasi yang
lain.
2) hasil wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang lain, misalnya:
data yang belum terungkap tentang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, situasi
pribadi, dll.
Kelemahan wawancara adalah:
1) dalam proses
wawancara dapat dipengaruhi prasangka
2) banyak waktu
dan energi yang tersita
c. Angket dan kuesioner:
Angket merupakan alat pengumpul data berupa serangkaian pertanyaan yang
diajukan kepada subyek (responden) untuk mendapatkan jawaban. Menurut cara
penyampaiannya dapat dibedakan menjadi dua macam ialah: alat atau instrumen
yang diberikan secara langsung kepada orang yang dimintai pendapat (kuesioner)
dan alat yang diberikan secara langsung maupun melalui orang lain untuk
memperoleh jawaban (angket). Jadi kuesioner adalah serangkaian pertanyaan yang
ditujukan langsung kepada responden, sedangkan angket dapat dijawab oleh siapa
saja.
Menurut bentuknya
ada tiga macam instrumen angket dan kuesioner:
1) angket dan kuesioner terbuka (non
structure): artinya terbuka untuk setiap jawaban atau pendapat responden.
2) instrumen tertutup (structure):
artinya pertanyaan yang diajukan telah disertai alternatif-alternatif
jawabannya; responden tinggal memilih jawaban di antara alternatif (kemungkinan
jawaban) yang telah teredia.
3) instrumen semi terbuka: selain angket atau kuesioner yang disertai
alternatif jawaban, disediakan pula ruang untuk jawaban bebas.
Syarat-syarat
menggunakan angket atau kuesioner adalah:
1) ada tujuan yang jelas dari setiap pertanyaan.
2) pertanyaan diajukan tanpa ada unsur penilaian (untuk itu harus diberi
introduksi)
3) penyebaran angket dan kuesioner sebaiknya mengingat waktu yang tepat, .misalnya:
menyebarkan kuesioner tentang cara
belajar pada waktu siswa sedang melaksanakan ujian.
4) isi pertanyaan jelas dan mudah ditangkap, maksudnya pertanyaan sesuai
dengan kemampuan dan situasi nyata responden.
5) pertanyaan tidak tumpang tindih dan memperhatikan sopan santun.
6) jangan memberi sugesti agar jawaban tidak mengumpul pada satu alternatif
saja.
Adapun keuntungan
menggunakan angket atau kuesioner adalah:
1) mempersingkat atau menghemat waktu dalam pengumpulan data, terutama bila
menyangkut responden dalam jumlah besar.
2) responden biasanya menjawab pertanyaan sesuai dengan keadaan.
Sedang kelemahan
dalam penggunaan angket atau kuesioner adalah:
1) pertanyaan atau instruksi (cara menjawab) yang ada kabur, sehingga
membingungkan responden.
2) kadang-kadang ada unsur jebakan dalam mendapatkan
jawaban.
3) menekankan situasi sekarang dari diri responden.
Contoh masalah dalam angket atau kuesioner adalah: keterangan diri,
keluarga, riwayat kesehatan, riwayat pendidikan, masalah sosial ekonomi, dll.
d. Kunjungan rumah (home visit) :
Tujuan dari kunjungan rumah adalah untuk mengenal lingkungan hidup siswa.
Kunjungan rumah tidak dimaksud untuk menyelidiki situasi rumah atau keluarga
siswa secara mendalam, namun lebih untuk melihat letak rumah, fasilitas belajar
siswa, suasana rumah atau keluarga siswa, dll.
Keuntungan kunjungan rumah adalah guru atau konselor dapat langsung melihat
situasi anak dikediamannya, sedang kelemahannya adalah: keterbatasan waktu dan
dana, keluarga siswa merasa diamati dan karena itu informasi dapat bias.
e. Autobiografi dan biografi
Biografi adalah riwayat hidup seseorang, biasanya ditulis oleh orang lain,
sedangkan autobiografi ditulis sendiri. Informasi yang diharapkan dari ke
duanya adalah: kejadian-kejadian yang penting dalam hidup anak atau seseorang
dan reaksi atau sikap anak terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu dalam
membaca biografi atau autobiografi perlu diperhatikan adanya kalimat yang
diulang-ulang.
Adapun keuntungan biografi adalah konselor dapat mengetahui bagaimana
perkembangan hidup siswa secara garis besar dan menyeluruh, sedangkan dengan
autobiografi, konselor dapat mengetahui perkembangan individu seperti yang
dirasakan oleh subyek yang bersangkutan. Adapun kelemahan instrumen ini adalah:
subyektivitas dapat tinggi, karena siswa atau orang tentu ingin mengetengahkan
hal-hal yang baik tentang dirinya.
Dilihat dari strukturnya biografi dan autobiografi dapat dibedakan menjadi
bentuk terstruktur dan bentuk tidak terstruktur. Bentuk terstruktur apabila
alat disusun dengan struktur yang diminta oleh pengumpul data, berdasarkan
unsur-unsur yang harus ada di dalamnya. Bentuk tidak terstruktur apabila
biografi atau autobiografi ditulis secara terbuka, tanpa pengarahan tentang
lainnya. Kedua alat ini tidak sama dengan daftar riwayat hidup atau riwayat
pendidikan.
f. Sosiometri
Sosiometri adalah teknik untuk menyelidiki hubungan sosial antar anggota
kelompok. Jadi sosiometri adalah alat untuk menyelidiki hubungan sosial antar
anggota kelompok. Selain itu sosiometri adalah alat untuk mengungkapkan
hubungan berteman atau alat meneliti struktur sosial dari masing-masing anggota
kelompok yang bersangkutan. Hasil sosiometri disebut sosiogram.
Adapun kegunaan
hasil sosiometri adalah:
1) memperbaiki hubungan insani di antara anggota kelompok tertentu
2) menentukan kelompok kerja
3) meneliti kemampuan memimpin individu dalam kelompok tertentu untuk suatu
kegiatan tertentu.
Norma yang
digunakan dalam sosiometri adalah popularitas. Nilai baik dan buruk dapat
dilihat ddengan norma-norma:
1) banyaknya frekuensi pertemuan (sering tidaknya bergaul) dengan teman
dalam kelompok tersebut.
2) intensitas hubungan, yaitu menyangkut mendalam atau tidaknya suatu
pergaulan.
3) popularitas: banyak atau sedikitnya teman bergaul.
Mengenai jumlah siswa yang akan diperiksa dalam suatu kelompok berkisar
antara 10 – 100 siswa, sebab bila terlalu besar akan menimbulkan kesulitan
karena adanya sub-sub kelompok, sehingga hubungan sosial menjadi kabur.
Langkah-langkah
penggunaan sosiometri adalah sebagai berikut:
1) buatlah kartu pilihan seperti berikut:
Tanggal :..................................
Nama :..................................
Kriterium: misalnya pilihlah kawan untuk:
a) belajar bersama
b) rekreasi
2) data yang diperoleh dibuat tabel
3) berdasarkan data dalam tabel, buatlah bentuk grafik. Grafik inilah yang
disebut sosiogram.
Berdasarkan hasil
sosiogram, sering ditemukan kasus-kasus hubungan sebagai berikut:
1) ada anak yang paling banyak dipilih untuk berkawan (star)
2) kadang ada klik (clique), yang biasanya terdiri dari tiga orang sobat
kental (triangle)
3) hubungan berpasangan (pair); dalam hal ini ada kerja sama
4) hubungan berantai (chain)
5) adanya siswa yang terisolir (isolated)
Untuk mengukur
intensitas pilihan diperlukan Indeks Pilihan (I.Pi.), dengan rumus: I.Pi.
= Jumlah Pemilih Contoh: A dipilih oleh 6 dari 10 anggota
N - 1 maka I.Pi. = 6 =
0,66
9
I.Pi. = 0 :
menunjukkan indeks tidak terpilih (tidak ada yang memilih siswa tersebut atau
biasanya siswa yang terisolir)
I.Pi. = 1 :
berarti semua siswa memilih siswa tersebut (siswa yang menjadi bintang di
kelompok tersebut).
g. Catatan anekdote (anecdotal record)
Anekdote adalah kejadian yang khas yang berlaku untuk individu atau siswa
tertentu. Pencatatan anekdote berguna untuk studi kasus dan penelaahan tentang
perkembangan individu atau kelompok individu. Apabila catatan anekdote
dikumpulkan dan disusun berdasarkan relevansi, maka akan dilihat perkembangan
suatu kasus.
Syarat-syarat
anekdote yang baik adalah:
1) obyektif: untuk menjaga hal ini, catatan harus dibuat sendiri oleh
pengamat, dilakukan segera dan deskripsi dari suatu peristiwa dipisahkan dari
tafsiran.
2) deskripsi: lengkap, pencatatan langsung, tersusun sesuai dengan
kejadian.
3) catatan: mengemukakan situasi satu per satu.
4) selektif: situasi dicatat relevan dengan tujuan dan masalah yang sedang
menjadi perhatian konselor atau pengamat.
Adapun manfaat
dari konselor adalah:
1) konselor dapat memperoleh pemahaman lebih tepat tentang individu dan
sebab-sebab tingkah lakunya.
2) konselor dapat memperkembangkan cara untuk menyesuaikan diri dengan
masalah-masalah dan kebutuhan individu yang bersangkutan.
Menurut bentuknya
catatan anekdote yang dibuat dapat dibedakan menjadi:
1) anekdote tipe evaluatif: catatan berisi pernyataan tentang penilaian
pencatat atau pengamat berdasarkan ukuran baik atau buruk. Contoh: pada hari
ini Nani memperlihatkan sikap yang lebih baik terhadap teman kelompok kerjanya.
Dia mau mengambilkan kertas untuk teman-teman yang lain (Ruang kelas, tanggal,
jam).
2) tipe interpretatif: catatan untuk menjelaskan kegiatan tingkah laku atau
situasi yang diamati. Contoh: akhir-akhir ini Nina tampak gelisah. Dia kelihatan sakit; mungkin
kondisi ini menyebabkan dia gelisah (Ruang G.C., tanggal, jam)
3) tipe deskripsi umum: catatan tentang kegiatan, tingkah laku atau situasi
dalam bentuk umum. Misalnya: Nando mulai gelisah di kelas, karena banyak tugas
yang belum diselesaikannya. Oleh karena itu dia mulai menghindarkan diri dari
kawan-kawannya (Ruang kelas keterampilan, tanggal, jam)
4) tipe deskripsi khusus: catatan tentang kegiatan; tingkah laku individu
secara teliti dan khusus. Contoh: pada permainan ular dan naga, kawan-kawan
banyak yang memilih menjadi ekor naga. Kepala ular berteriak, karena
kawan-kawan tidak mau memilih menjadi ekornya. Kepala naga menjawab: “ Memang
semua ingin ikut aku, aku tidak dapat mencegah” (ruang bermain, tanggal, jam).
Keuntungannya
pencatatan anekdote:
1) dapat melengkapi data yang lain.
2) memungkinkan guru atau konselor
mengamati perilaku siswa di luar kebiasaannya atau tanggapan siswa dalam
situasi khusus.
Kelemahan
pencatatan anekdote adalah:
1) pengamatan dapat kurang akurat dan obyektif karena adanya prasangka.
2) kurangnya jumlah dan variasi anekdote , kurang memungkinkan konselor
memiliki gambaran menyeluruh tentang kepribadian siswa. Selain itu sewaktu terjadinya
suatu kejadian atau tindakan ada
kemungkinan tidak terlihat atau terliput
oleh konselor.
3) deskripsi perilaku seringkali tercampur dengan interpretasi pengamat
atau penafsiran konselor.
4) diperlukan banyak waktu untuk mempelajari anekdote-anekdote atau
mencatatnya.
h. Skala pengukuran (rating scale):
Skala pengukuran merupakan instrumen yang menyajikan sejumlah data tentang
sikap atau sifat dari individu. Pengukuran biasanya dilakukan secara gradual,
misalnya: sangat setuju, setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Untuk
validitasnya, skala ini tidak dibuat oleh pengamat atau rater saja, namun
beberapa orang. Istilah yang digunakan dalam hal ini ialah: rater adalah
pengamat, ratee adalah individu yang dikenai alat itu, sedangkan rating adalah pengukurannya sendiri.
Selanjutnya yang diukur dalam hal ini adalah: kesungguhan/ketahanan kerja,
kegiatan belajar, tanggung jawab, dll.
Adapun manfaat
dari skala pengukuran adalah :
1) hasil observasi dapat
dikuantifikasi atau dapat dihitung dalam jumlah atau frekuensi, sehingga
memungkinkan adanya perhitungan statistik atau yang lain.
2) Pengukuran diharapkan dapat
diandalkan, apabila pengamatan dilakukan oleh beberapa rater.
Kelemahan dari
alat ini adalah:
1) butir-butir dalam skala dapat diartikan lain oleh rater; terutama mereka
yang tidak ikut menyusun alat ini.
2) seringkali ada sifat atau sikap yang sulit diamati atau sulit diungkap (non observable).
3) kadang ada gradasi dalam skala yang kurang jelas, misalnya: range atau
rentangnya terlalu banyak atau terlalu sedikit.
4) terjadi generalisasi; misalnya: berdasarkan lingkungan asal siswa: orang
Batak keras sifatnya.
5) dapat terjadi “personal bias”,
karena:
a) “error of severity”: orang
Jakarta rusak-rusak.
b) “error
of leniency”: karena yang diobservasi pacarnya, maka hasil pengukuran baik
semua.
c) “halo effect”: karena
pandangan negatif terhadap siswa yang penampilannya kurang menarik, maka rater
memilih gradasi kurang pada butir-butir skala.
d. “logical error”:
menginterpretasi sendiri butir-butir dalam skala, karena tidak menangkap
maksudnya.
e. “carry over effect”: tidak
memisahkan jawaban antara butir yang satu dengan butir jawaban yang lain.
f) “error of central tendency”:
rater hanya berani memberi pengukuran ditengah-tengah, kurang berani memberi
pengukuran pada yang ekstrim.
Tipe-tipe skala
pengukuran:
1) tipe numerik:
v-----------------v-------------------v------------------v---------------------v-------------------v
apatis jarang
tertarik sering tertarik biasanya tertarik bergairah
1 2 3 4 5
Skala ini disebut tipe numerik karena ada angka atau gradasi yang
dicantumkan. Apabila angka dihilangkan jadilah skala ini skala grafis (garis
kontinum tanpa angka).
2) man to man scale: orang yang diamati dibandingkan
dengan orang lain dalam status yang sama, yang akan dijalani subyek yang
bersangkutan
3) Daftar cek (behavior description):
Berilah tanda cek (V)
Tingkah laku dalam
keadaan darurat:
-
tenang dan menguasai diri
-
tenang dan kurang menguasai diri
-
agak panik dan kurang menguasai diri
-
panik dan kurang menguasai diri.
4) bentuk obyektif:
Berilah
tanda * pada alternatif yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya!
-
selalu menghargai orang lain
-
biasanya menghargai orang lain
-
menghargai namun kurang memperhatikan orang lain
-
tidak menghargai orang lain.
5) Bentuk skala tingkah laku:
Berilah lingkaran pada angka yang menunjukkan
kecenderungan ratee (siswa) pada sifat-sifat berikut (sesuai keadaan atau
kenyataan):
Dalam kegiatan
Pramuka, siswa peserta kemah dalam bersosialisasi:
-
gembira 5 4 3 2 1 sedih
-
rajin 5 4 3 2 1 malas
-
tenang 5 4 3 2 1 resah
-
gairah 5 4 3 2 1 lesu.
6) Skala Likert:
Skala ini terdiri
dari serangkaian pernyataan yang mendukung konsep dengan kenyataan yang
sesungguhnya, sebagai contoh:
Berilah tanda
silang pada angka yang sesuai dengan keadaan Anda!
Pernyataan tentang
situasi tempat kerja:
Saya kerasan
tinggal di lingkungan ini:
Ss s rr ks ts Keterangan:
5 4 3 2 1 ss:
sangat setuju
Saya
ingin pindah dari lingkungan ini: s
= setuju
Ss s rr ks ts rr = ragu-ragu
1 2 3 4 5 ks = kurang
setuju
Contoh pertama menunjukkan pernyataan positif, sedangkan pernyataan ke dua
menunjukkan pernyataan negatif. Oleh karena itu angka di bawah ke dua
pernyataan itu berbeda.
3.
Sumber data
Sumber data dapat
berasal dari:
a. siswa atau anak sendiri: biasanya data tentang keadaan siswa sendiri,
pergaulannya, proses belajar, dll.
b. guru atau pembimbing yang lain: data yang diungkap biasanya berkaitan
dengan proses belajar mengajar siswa, terutama di kelas; perilaku siswa,
kebiasaan khususnya, dll.
c. orang tua atau wali siswa: tentang kebiasaan belajar siswa di rumah,
kegiatan di luar sekolah, dll.
d. anggota masyarakat yang lain: biasanya data yang menyangkut kegiatan
siswa di luar kegiatan sekolah, misalnya olah raga, musik, pramuka, dll.
Dalam pengumpulan data hal yang perlu diperhatikan adalah benar atau
tidaknya pernyataan dari sumber data dan
konselor juga harus kritis terhadap sumber data.
B. Alat Untuk Menyimpan Data
Alat penyimpan
data dapat berupa:
1. Kartu pribadi: kartu pribadi adalah kartu
untuk mencatat kumpulan data yang diperoleh tentang siswa. Adapun isinya antara
lain tentang: identitas siswa, riwayat kesehatan atau pendidikan, hobi, dll.
2. Skala pengukuran: semua bentuk skala
pengukuran selain sebagai alat pengumpul data juga berfungsi sebagai alat untuk
menyimpan data.
3. Raport: selain sebagai catatan atau
pelaporan hasil belajar siswa kepada orang tua atau wali, rapor juga berfungsi
sebagai alat penyimpan data. Oleh sebab itu sebaiknya guru berhati-hati dalam
pengisian raport. Hal-hal yang tidak perlu sebaiknya tidak dicantumkan di
raport, karen biasanya rapor akan disimpan dalam jangka waktu lama
BAB IV
KONSELING
Kegiatan konseling merupakan pusat
dari seluruh program bimbingan. Dalam praktik seringkali sulit dibedakan antara
personal guidance dan counseling in individual situations. Personal guidance lebih menunjuk pada bantuan yang diberikan kepada
individu atau siswa untuk menyesuaikan diri dalam perkembangan sikap dan
perilaku dalam segala segi kehidupan. Dalam hal ini kadang dipakai istilah interview atau wawancara, yang sering
diinterpretasikan secara keliru menjadi konseling. Dalam guidance, wawancara menduduki tempat yang penting, sedangkan dalam
konseling wawancara hanya merupakan satu fase dalam keseluruhan proses
konseling. Selain itu hubungan antara konselor dengan konseli yang erat,
merupakan salah satu ciri khas kegiatan konseling. Jadi dalam hal ini konseling
berbeda dengan sekedar wawancara. Wawancara biasanya digunakan untuk mencari
informasi agar pewawancara dapat mengumpulkan data dan apabila perlu
mendapatkan suatu kesimpulan dari data tersebut. Wawancara konseling
kegiatannya terlebih dalam mengolah data. Meskipun demikian ada juga persamaan
antara ke duanya. Pelayanan bimbingan dan konseling selalu bertujuan menolong
seseorang untuk lebih menguasai pemahaman tentang diri sendiri secara nyata dan
lebih membangun harga diri dalam hubungan dengan kelompoknya. Konseling lebih merupakan proses belajar
melalui hubungan khusus secara tatap muka dalam wawancara antara konselor dan
konseli. Oleh karena itu konseling lebih bersifat relationship yang psikologis. Dalam konseling konseli mendapat
kesempatan mengeksploitir diri sendiri serta perasaannya, sehingga pada
akhirnya konseli dapat menjadi manusia yang berfungsi atau bermanfaat bagi
orang lain.
Kebutuhan individu
dalam bantuan membuat keputusan, merencanakan aksi-aksi dan penyesuaian diri
dengan situasi kehidupan mungkin dipusatkan pengalaman masa lalu dan masa
sekarang. Dalam pelayanan konseling perlu dipertimbangkan mengenai faktor usia,
minat, motivasi maupun pengalaman konseli. Selanjutnya salah satu tanggung
jawab konselor dalam situasi konseling
membantu individu menemukan sebab-sebab yang mendasar dari masalah yang
dihadapinya. Kesukaran yang dihadapi individu mungkin dapat berasal dari rumah
atau sekolah, pekerjaan, hubungan sosial atau rekreasi. Individual counseling dapat menyangkut kondisi-kondisi yang
mengganggu atau maladjusment yang
melibatkan kepentingan-kepentingan atau kebutuhan pribadi. Kegiatan konseling
pada hakekatnya selalu dihadapkan pada kegiatan manusia yang fundamental, ialah
memilih dan menentukan pilihan. Oleh karena itu konseling biasanya dilaksanakan
oleh orang yang peka terhadap perasaan orang lain.
Apabila seorang
konseli memberanikan diri memaparkan masalahnya, dia harus pula mempercayai
kemampuan atau kesediaan konselor untuk menahan diri dalam hal memberitahukan
apa yang sudah dibicarakan dengan konseli. Setiap individu selalu memiliki
kebutuhan dasar tertentu yang menghendaki atau menuntut pemenuhannya secara
memuaskan. Kebutuhan dasar itu misalnya: ingin hidup sehat dan layak, merasa
aman dan terlindung, dsb. Di samping kebutuhan-kebutuhan umum tersebut, manusia
memiliki pula kebutuhan-kebutuhan khusus dalam hal belajar, bekerja atau status
yang ingin dicapai, dll. Kebutuhan khusus ini sangat dipengaruhi oleh
perbedaan-perbedaan dalam hal inteligensi, kemampuan atau bakat khusus,
keyakinan, pendapat, dll. Perbedaan yang bersifat mendasar ini menimbulkan
bermacam-macam masalah, baik yang bersifat edukasional, emosional maupun
personal. Di dalam kegiatan konseling, konseli diberi kesempatan untuk
mengemukakan masalah yang dihadapinya dan mencari jalan pemecahannya dengan
bantuan konselor.
A. Masalah Utama Dalam Konseling
Masalah utama dalam konseling adalah pengambilan keputusan untuk memecahkan
masalah atau pembuatan keputusan (Leona Tyler). Selain itu masalah juga berkaitan
dengan penyesuaian. Menurut Tirtopramono, masalah konseling lebih berkaitan
dengan pembuatan keputusan dan penyaluran. Universitas Terbuka menekankan
permasalahan lebih dilihat dari segi fungsi penyelarasan (adaptive), penyaluran (directive)
dan korektif (remedial).
B. Komponen Layanan Konseling
1. Personel
Tenaga yang diperlukan dalam layanan konseling adalah konselor yang dibantu
oleh staf profesional dan tenaga tata usaha. Tenaga intinya adalah konselor,
karena konsep berasal dari dirinya dan dia akan menjiwai semua kegiatan staf
serta hubungan antar pribadi dengan para siswa. Seperti pendidik pada umumnya,
untuk menjadi konselor diperlukan dua persyaratan, ialah: persyaratan akademis
atau formal dan persyaratan material. Persyaratan akademis dapat berupa ijazah
program studi Bimbingan dan Konseling atau sertifikat kursus yang sesuai,
sedangkan syarat material dapat berupa keunggulan jiwa atau kepribadian sebagai
konselor.
2. Lingkungan fisik
Ruang atau tempat untuk melakukan kegitan konseling terutama ruang yang
nyaman untuk wawancara. Hal ini penting karena konseling merupakan layanan
hubungan antar manusia yang bersifat helping
relationship. Oleh karena itu sebaiknya ruangan konseling dekat dengan
kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak di pusat administrasi atau menyendiri
di pojok.
3. Penggunaan waktu kerja
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar waktu
konselor digunakan untuk tugas-tugas administrasi bimbingan yang sebenarnya
dapat dilakukan oleh petugas yang lain. Conant (1969) menyatakan, untuk
mencapai efektivitas konseling, paling sedikit harus ada seorang konselor untuk
300 siswa. Tugas konselor tidak hanya melaksanakan konseling, tetapi juga harus memberikan konsultasi, tindak lanjut
dan pengembangan karir. Apabila seorang konselor bekerja selama 6 jam, waktunya
mungkin dapat dibagi menjadi: 2 jam untuk konseling, 2 jam untuk pengembangan
karir, 1 jam untuk konsultasi dan 1 jam
untuk tindak lanjut.
4.
Orientasi profesional
Apabila
konselor ingin bekerja secara efektif, dia harus mendapat dukungan dari
staf sekolah dan
organisasi profesinya. Flanagan dan Mc. Graw (1961) menyarankan ada lima kategori prinsip yang mengatur tingkah laku
konselor, ialah: tanggung jawab konselor terhadap:
dirinya sendiri, konselingnya, administrasi sekolah dan staf, masyarakat dan
profesinya.
C. Hubungan Konselor dan Konseli
Hubungan konselor dan konseli harus bersifat saling menumbuhkan (helping relationship). Dalam hubungan ini tampak kehidupan perasaan,
artinya dua pribadi saling membuka diri dan peka satu sama lain. Selain itu ke
dua pribadi bermaksud jujur satu terhadap yang lain, baik secara intelektual
maupun emosional. Oleh karena itu syarat-syarat konselor adalah:
1. sikap acceptance, understanding,
sincerity dan bebas penilaian.
2. kepekaan dalam mendengarkan: konselor dituntut super sensitif terhadap
ucapan konseli maupun ucapan konselor sendiri.
3. rasa simpati dan empati: rasa simpati dapat menyebabkan konseli
tergantung pada konselor atau orang lain, sedangkan empati adalah kemampuan
seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang yang dirasakan dan dialami
orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Dalam situasi demikian orang
diharapkan mencapai “full emotional
contact”.
4. rapport: ada hubungan yang dekat, ramah dan hangat antara
konselor dan konseli, sehingga konseli merasa “at home”. Rapport berarti
suatu kontak atau hubungan antara konselor dan konseli yang berwarna positif,
hangat, ramah dan sebagainya (dsb.).
5. Keaslian (guinness): kemampuan
konselor menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura-pura, tidak
bermain peran dan tidak mempertahankan diri. Tingkah laku wajar akan
menampakkan keaslian pribadi konselor, sehingga tidak ada pertentangan antara
yang dikatakan dan yang dilakukan.
6. Kepercayaan dan kemantapan : selama proses konseling berlangsung,
kepercayaan harus dipegang. Sebaiknya
konselor mempercayai konseli, sehingga konseli tidak ragu terhadap diri sendiri
maupun terhadap konselor.
7. Kekuatan: ekspresi khusus
mengenai perasaan dan pengalaman orang lain. Konselor yang memiliki kekonkritan
tinggi selalu memelihara keserasian dalam hubungan dengan orang lain dan
mencegah konseli melarikan diri dari masalah.
8. Bebas dari tugas-tugas yang menentukan: idealnya seorang konselor harus
bebas dari penilaian. Oleh sebab itu konselor sebaiknya tidak diberi tugas yang
sifatnya menentukan. Hal ini perlu karena konselor membutuhkan situasi yang
tenang, pikiran yang relatif tenteram dan bebas dari hal-hal yang bersifat menentukan
bagi konseling.
Adapun syarat-syarat
konseli adalah:
1. ada rasa membutuhkan orang lain, yang dapat membantu dalam memecahkan
masalah yang dihadapi dan kesediaan untuk membicarakan dengan orang yang
bersangkutan.
2. mempunyai kepercayaan tertentu terhadap konselor.
3. ada kemauan yang kuat dan keberanian
untuk memecahkan masalah.
Meskipun syarat-syarat telah terpenuhi, namun harus tetap diingat bahwa
keberhasilan proses konseling tetap dipengaruhi oleh:
1. jenis masalah yang dihadapi, misalnya: mudah atau sukarnya masalah,
kerumitan masalah, pihak-pihak mana yang terlibat, dll.
2. kemampuan konselor dan situasinya: hal ini menyangkut kapabilitas
konselor dalam menangkap inti masalah yang dihadapi, pendidikan atau pelatihan
yang pernah ditempuh dan situasi yang dihadapi oleh konselor maupun konseli.
3. kelincahan, kejelian dan kebijaksanaan dalam menanggapi masalah dan cara
pemecahannya: hal ini dapat berkaitan dengan banyaknya pengalaman konselor atau
lamanya konselor bertugas serta variasi masalah yang dihadapi dan peluang untuk
memecahkannya.
Dalam hubungan konselor dan konseli sebaiknya diwarnai situasi yang
menyenangkan dan sehat, sebaiknya dihindari:
1. sikap mendominir, apabila tidak perlu, karena konseli dan
permasalahannya yang seharusnya menjadi titik
perhatian.
2. peranan-peranan yang menentukan,
yang mengakibatkan ada jarak antar konselor dengan konseling.
3. berlaku sebagai orang yang dapat dipercaya dan terbuka.
4. penggunaan kata-kata dan sikap sinis, mengkritik atau sikap lain yang
tidak sesuai dengan situasi konseling.
5. pelanggaran disiplin dan sopan santun.
Selain itu hubungan konselor dan
konseli juga bersifat “complementary
characteristic” atau hubungan yang saling melengkapi antara konselor dan
konseli dalam kekurangannya masing-masing. Dalam hal ini ada beberapa hipotesis,
yang kemudian terbukti kebenarannya (Bandura, Lipsher dan Miller), ialah:
1. konseli dominan menyebabkan konselor “dependent”
2, konseli “dependent”
menyebabkan konselor dominan
3. konseli memusuhi menyebabkan konselor memusuhi juga
4. konseli bersahabat menyebabkan konselor bersahabat
5. konseli memusuhi menyebabkan konselor cemas.
Khusus no. 5, Russel menekankan bagi konselor yang
berpengalaman dalam hal ini tidak berlaku.
Selanjutnya perlu diperhatikan identitas konselor yang perlu dipegang
sebagai identitas profesionalnya:
1. peranan konselor dalam grafis: peran
konselor membantu konseli memahami dirinya sendiri dan lingkungannya, serta
membantu dalam membuat keputusan.
2. sebagai administator sekolah: kadang-kadang konselor bertugas sebagai
pimpinan semu (a quasi administrator);
dengan tugas administrasi, melakukan tes, menerima murid baru, dll.
3. sebagai generalis: terlibat dalam bermacam-macam kegiatan, mengurusi
jadual, penjurusan, beasiswa, dll.
4. sebagai spesialis: menurut penelitian yang menerima kuliah bimbingan dan
konseling cenderung sebagai spesialis; yang lain generalis.
5. sebagai agen pembaharu: konselor biasanya ahli masalah belajar dan mau
mengkomunikasikan ilmunya bagi yang lain, namun hal ini diragukan karena posisi
konselor di sekolah dan kurangnya latihan dan pengalaman ilmiah.
6. sebagai spesialis dalam Psikologi Pendidikan: hal ini dimungkinkan
karena konselor dapat mengembangkan spontanitas siswa , sikap terbuka,
pengembangan emosional, dll.
7. sebagai “a helping
profesional”: membantu perkembangan siswa secara optimal.
Dalam praktek meskipun konselor telah memperhatikan rambu-rambu dalam
melaksanakan proses konseling, namun masih sering terjadi kesulitan dalam
menghadapi konseli yang sukar diatasi. Untuk itu diperlukan strategi tertentu,
misalnya:
1. strategi bertanya: berapa umurmu?, di mana rumahmu?, dll.
2. strategi mengemukakan alasan: merangsang konseli agar mengerti mengapa
dia disuruh datang, mengapa pertanyaan dikemukakan, dll.
Bila konseli mempertahankan diri, diadakan konfrontasi yang membangun.
Dalam hal ini ada tiga tingkatan, ialah:
1. tingkatan sedang: “Coba kamu kemukakan pendapatmu!”
2. tingkatan agak keras: “Beranilah mengemukakan pendapatmu!”
3. tingkatan keras: “Mungkin kamu kurang berani mengubah diri!”
Konfrontasi di atas dimaksud untuk mencegah macetnya proses konseling. Bila
situasi menjadi kritis, maka konseling dapat diatasi dengan alternatif
konselor:
1. mendengarkan dengan cermat
2. menyampaikan hasrat ingin membantu
3. bicara dengan bahasa yang lugu
4. menyusun daftar prioritas masalah
5. memberi alternatif-alternatif
6. mendorong sesuatu yang perlu untuk diri sendiri.
7. diperlukan tindakan yang positif, dll.
Semua hal di atas
bertujuan untuk membuat konselor mandiri.
D. Jenis dan Metode Konseling
1. Jenis Konseling
Jenis konseling menunjuk pada segi pendekatan dari suatu proses konseling,
sedangkan metode konseling lebih menunjuk pada cara umum konselor dalam usaha
membantu murid menjalani proses konseling.
Menurut jenisnya
konseling dapat dibedakan menjadi:
a. “Client centered approach; dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1). fokus lebih pada konseli, bukan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini
konselor memberi kesempatan kepada konseli supaya lebih mengenal masalah yang
dihadapinya.
2). titik berat pandangan lebih pada situasi sekarang, bukan masa lampau.
3). tidak mengevaluasi kesalahan-kesalahan konseling.
4). konselor menerima dengan baik tingkah laku konseli yang kadang lain
dari pada yang siswa yang lain.
5). sifat konseling adalah edukatif emosional, tidak bersifat intelektual.
Jadi perasaan yang sensitif lebih diperhatikan dari pada ilmu pengetahuan.
6). dasar konseling ialah konseli bertanggung jawab atas pemecahan
masalahnya sendiri.
7). konseling dapat menyetujui atau tidak
menyetujui apa yang dibicarakan dengan konselor.
8). konselor menginsyafkan konseli bahwa ia tidak mempunyai rumusan-rumusan
yang cocok untuk setiap pemecahan masalah, karena tidak ada dua masalahpun yang
persis sama dengan yang dihadapi konseling.
b. Clinical
approach: dengan jenis ini konseling lebih ditekankan pada pemecahan
masalah dari pada memperhatikan situasi konseli.
Adapun ciri-ciri yang lain adalah:
1). mendorong konseli untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2). konselor memilih cara-cara pemecahan masalah yang kiranya sesuai dengan
masalah yang dihadapi konseli.
3). konselor memberi masukan secara langsung dan berusaha meyakinkan
konseli akan masukan-masukannya serta menyarankan konseli untuk mengambil
keputusan sesuai dengan masukan-masukan tersebut.
4). dalam jenis ini ada kecenderungan untuk mengubah sikap hidup seseorang.
c. Eclective approach: jenis ini
memakai ke dua jenis konseling di atas, dan ciri utamanya:
1). sebelum konseling, konselor mempelajari segala sesuatu mengenai
identitas konseli yang sudah diketahui.
2). membina hubungan yang baik dengan konseli, karena konseling membutuhkan
situasi yang santai.
3). menjadi pendengar yang baik bagi ucapan-ucapan konseli.
Untuk jenis ini konselor
dihadapkan beberapa alternatif, yang menyangkut kelancaran dan keberhasilan
proses konseling.
Alternatif-alternatif tersebut misalnya:
1). siapa yang sebaiknya mengambil
inisiatif dalam pemecahan masalah yang dihadapi?
2). Apakah konselor memberi kesempatan untuk memilih alternatif pemecahan
masalah bagi konseli?
3). bagaimana keadaan konselor sesudah konseling apabila menghadapi
masalah-masalah yang lain?, dll.
2. Metode konseling
Sesuai dengan ke tiga pendekatan di atas metode konseling biasa dijalankan
dengan cara:
a. Metode Non Directive: tokoh yang mengetengahkan metode ini adalah Carl
Ransom Rogers. Metode ini lebih menekankan individu
yang dikenai masalah dari pada macam masalah yang dihadapi oleh konseli. Tujuan
pemecahan masalah dalam metode ini ialah memperbesar rasa mandiri dan integrasi
dalam diri individu. Jadi tujuan konseling sebenarnya bukan hanya memecahkan
masalah-masalah yang khusus melainkan membantu individu supaya berkembang,
sehingga konseli dapat menghadapi masalah yang akan datang dalam kondisi
kepribadian yang terintegrasi dengan baik. Dalam metode ini peranan konselor
yang utama adalah sebagai pendengar dan dapat menunjukkan sikap menerima dari
pada mengadili konseli. Selain itu konselor harus dapat merefleksikan perasaan
yang diekspresikan oleh konseli dengan menyatakan kembali masalah yang telah
diungkapkannya. Menurut Crow dan Crow, metode non directive mungkin berfungsi efektif apabila konseling:
1) dalam keadaan bingung, sehingga ia berusaha membicarakan masalahnya.
2) sukar bicara, mengalami gangguan mental dan mengalami depresi.
3) tahu apa yang diperbuat, namun tidak berdaya untuk mengerjakannya.
4) mengalami gangguan emosional, sehingga kebutuhan utamanya adalah
ketenangan atau suatu tempat bersandar dalam bentuk sugesti konselor untuk bertindak.
Dalam
pelaksanaan praktis untuk metode ini, sebelum wawancara, konselor telah
mempunyai data dan data tersebut dilengkapi selama wawancara berlangsung. Data
yang lengkap mungkin diperoleh konselor bila ia telah menemukan lebih banyak
informasi lagi yang melatarbelakangi sikap-sikap konseli. Melalui kombinasi
data yang ada, konselor memperoleh pengertian yang mendalam dari permasalahan
dan sikap konseli dan menentukan macam pertolongan mana yang dibutuhkan.
b. Metode directive: Tokoh metode ini adalah E.G. William Son. Metode ini
lebih menekankan pemecahan masalah yang dihadapi konseli.
Di dalam proses konseling, metode ini lebih mendasarkan wawancara pada
data-data yang bermutu untuk dapat memberikan bantuan berharga atau bersifat
konstruktif, serta mendiagnose kesukaran secara intelligent. Dalam metode ini konselor bertindak sebagai pemimpin
selama proses konseling, juga dalam menentukan rencana atau kegiatan lain yang
dapat menghasilkan data. Jadi dalam metode ini konselor lebih banyak bicara
dari pada konseli. Selain itu sukses dari terapi tergantung pada kesediaan dan kemampuan konseli untuk mengikuti
petunjuk atau bimbingan konselor, juga kesediaan berikutnya untuk melanjutkan
kerja sama antara konselor dan konseli, sampai masalah terpecahkan secara
memuaskan. Metode directive mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1) konseling mengemukakan masalah yang dihadapinya
beserta data yang berkaitan dengan masalah tesebut. Konselor membantu
menganalisis data tersebut.
2) analisis data diharapkan dapat mengungkap inti atau pokok masalah yang
sebenarnya (diagnosis). Apabila inti masalah sudah diketahui, konselor
menyampaikan kepada konseli.
3) konselor membantu konseli dalam memecahkan masalah tersebut dan
memberikan gagasan tertentu agar konseli dapat memecahkan masalahnya sendiri,
apabila timbul masalah baru di masa mendatang. Metode ini kiranya sesuai bila
digunakan untuk menghadapi anak-anak remaja atau siswa Sekolah Menengah atau
mereka yang memiliki masalah yang menyangkut penyesuaian terhadap lingkungan
atau situasi yang ada.
c. Metode eclective: metode ini campuran dari ke dua metode di atas.
Konselor mengambil unsur-unsur dari ke dua metode konseling. Biasanya pada
permulaan konselor menggunakanmetode non
directive dan pada tahap pemecahan masalah berubah menjadi directive. Metode ini memerlukan
fleksibilitas tinggi dari konselor untuk meraba berdasar kepekaannya, kapan
konseling dilaksanakan dengan metode directive dan kapan dengan metode non directive.
E. Studi kasus
Studi kasus adalah
penyelidikan tentang suatu masalah atau kasus tertentu. Studi kasus merupakan
langkah pendahuluan sebelum melaksanakan konseling. Perceivel W. Hutson mendefinisikan
studi kasus sebagai berikut: “Case study
is a detailed inquiry into all facets of individual’s life,
eventuating in a diagnosis which forms the foundations for treatment”. Jadi
studi kasus adalah hasil pengumpulan data secara mendalam atau mendetail,
sekaligus pengolahan data kasus dari seseorang, suatu lembaga, keluarga, dsb.
Data tersebut diselidiki secara mendalam dan hasilnya dianalisis secara teliti,
agar dapat memberi dugaan tentang
masalah yang mungkin diderita atau
dialami oleh individu atau kelompok. Dugaan masalah ini yang akan
dijadikan pertimbangan atau titik tolak dalam pelaksanaan pelayanan atau
bantuan melalui proses konseling
Ciri-ciri khas
studi kasus adalah:
1. bersifat komprehensif: data yang dikumpulkan dari kasus-kasus haruslah
lengkap, karena dinyatakan data yang ada harus mendalam dan mendetail.
2. Bersifat rahasia, karena masalah yang ada hanya dapat disampaikan kepada
orang lain, apabila ada ijin dari konseli dan demi keuntungan konseli sendiri.
3. Kontinu: langkah yang diambil hendaknya ada kelanjutannya, dalam arti
tercapai suatu penyelesaian.
4. Analisis non statistik: dalam studi kasus pengolahan atau analisis data
secara statistik jarang atau tidak umum digunakan. Biasanya yang digunakan
adalah analisis filosofis yang dipakai untuk pengolahan data, yaitu kesimpulan
yang diambil dalam hubungan sebab akibat dan berdasarkan logika.
Langkah-langkah
dalam studi kasus sebagai berikut:
1. Pengumpulan informasi: hal ini dapat dilakukan melalui wawancara
terhadap konseli atau orang lain yang mengetahui keadaan konseli. Selain itu
data juga dapat diperoleh dari kartu pribadi atau lembaga yang berwenang di
luar sekolah.
2. Observasi: diadakan bagi anak-anak kasus untuk mengetahui gejala-gejala
yang timbul dan nampak dari pihak konseli. Observasi juga dapat digunakan untuk
memeriksa informasi atau data yang sudah ada.
3. Pengumpulan data: dalam hal ini yang dimaksud adalah pengaturan atau
penyusunan data yang sudah ada dan menambah dengan data baru yang dikumpulkan
dengan segala macam alat (kuesioner, sosiometri, wawancara, dsb.)
4. Analisis dan diagnosis: dalam langkah
ini latar belakang masalah yang dihadapi konseli dipelajari. Diselidiki
pula sebab-sebab khusus maupun umum yang menimbulkan masalah, berat ringannya
masalah dan proses kejiwaan konseli pada saat itu. Dengan demikian dapat
diketahui masalah inti yang kiranya telah mengganggu ketenangan atau
kesejahteraan konseli itu.
5. Prognosis: atas dasar perumusan masalah, analisis serta diagnosis, maka
dapat direncanakan corak pemberian pelayanan yang akan diberikan kepada
konseli. Sampai disini sebenarnya studi kasus telah selesai, namun sebagai
pembimbing, sebaiknya diketahui langkah selanjutnya, sehingga selesai
penanganan masalah.
6. Langkah pelayanan: langkah ini sebenarnya merupakan inti dari kegiatan
bimbingan. Sifat pelayanan konseling sangat ditentukan oleh sifat masalah yang
dihadapi dan kondisi konseli serta situasinya.
7. Evaluasi dan tindak lanjut: tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui
sampai seberapa jauh efektivitas bimbingan yang telah diberikan bermanfaat bagi
konseli. Selain itu perlu diteliti hal-hal manakah yang seharusnya dilakukan
konseli. Sukses dari pelayanan bimbingan dapat dilihat apabila pelayanan
tersebut dapat membawa kebahagiaan pada diri konseli.
F. Teknik Konseling:
Pada dasarnya ada dua teknik konseling ialah teknik verbal dan non verbal.
Teknik verbal adalah tanggapan-tanggapan verbal yang diberikan oleh konselor,
yang merupakan perwujudan konkrit dari maksud, pikiran dan perasaan yang
terbentuk dalam batin konselor untuk
membantu konseli pada saat tertentu (Winkel, W.S.). Sedangkan teknik non verbal
mengacu pada istilah perilaku non verbal yang dapat diartikan secara sempit dan
luas (Mehrabian dalam Winkel,W.S.). Dalam arti sempit perilaku non verbal
menunjuk pada reaksi atau tanggapan yang berbeda dengan reaksi dengan
kata-kata, misalnya: dengan anggukan, pandangan mata, sikap badan, gerakan
tangan, dll. Dalam arti luas di samping hal-hal yang sudah disebutkan , juga
menunjuk pada gejala vokal yang menyertai ucapan kata, misalnya: kekeliruan
dalam waktu berbicara, saat diam, cara berjalan, berpakaian, sinkronisasi
antara berbicara dan gerak, dll. Menurut Mehrabian semua bentuk perilaku non
verbal mengandung nilai komunikatif dan dapat berperan sebagai bentuk
komunikasi implisit dalam komunikasi
antar pribadi.
1.
Teknik verbal:
Tanggapan verbal dapat berupa pernyataan dan pertanyaan. Dalam suatu
wawancara konseling dapat menggunakan digunakan berbagai teknik konseling.
Khusus mengenai kalimat tanya dapat dibedakan
pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Contoh pertanyaan tertutup:” Dengan
siapa Anda belajar?” atau “ Bagaimana perasaanmu waktu gagal ujian?”. Contoh
pertanyaan terbuka:” Mengapa kamu merasa sedih” atau “Bagaimana caramu
menyatakan kekecewaan pada kawanmu?”. Penggunaan kata mengapa, bagaimana dan
kenapa sebaiknya hati-hati, akan lebih baik bila kata itu dihaluskan dengan :” Kiranya
apa yang membuat Anda marah?” atau “ Coba Anda jelaskan mengapa Anda
marah”. Wawancara dengan corak ini
membuat konseli bersikap aktif sedangkan wawancaraa dengan pernyataan tertutup
membuat konseli pasif. Setelah fase pembukaan yang biasanya berisi sapaan,
misalnya: “Selamat pagi!” atau “Silahkan duduk!”, konselor memulai proses
konseling dengan teknik verbal sebagai
berikut:
a) Ajakan untuk mulai (invitation to
talk), misalnya: “ Apakah ada masalah yang ingin Anda bicarakan?”
b) Penerimaan/menunjukkan pengertian (Acceptance,
Understanding), misalnya: “ Ya,
ya...” atau “ Hm....Hm”
c) Perumusan kembali pikiran atau gagasan (Reflection of content): berisi gagasan atau pandangan konseli yang
terungkap secara eksplisit, yang dirumuskan kembali oleh konselor dalam bentuk parafrase
dan restatement. Parafrase artinya menggunakan kata-kata konselor, sedangkan restatement menggunakan kata-kata
konseli sendiri. Contohnya:
Konseli: “ Saya berharap dapat memberi les agar beaya kos terbayar”.
Konselor: “ Anda ingin memberi les agar dapat membayar beaya kos?” (restatement). “Anda ingin mencari
kesempatan bekerja agar dapat membayar kos?” (parafrase).
d). Perumusan kembali/refleksi perasaan (Reflection of Feelings): berkaitan dengan unsur afektif dalam
perasaan konseli. Pemantulan kembali perasaan konseli tentang suatu pengalaman
atau kejadian tertentu secara eksplisit juga dapat dalam bentuk restatement dan parafrase. Dalam hal ini bentuk parafrase lebih efektif digunakan.
Yang dipantulkan adalah perasaan penampang (surface
fellings). Contoh: Konseli: “ Saya benar-benar marah dengan
pernyataannya!”. Konselor: “ Sepertinya Anda jengkel sekali dengan pernyataan tersebut?” (parafrase). Atau “ Anda marah dengan
pernyataan itu?” (restatement).
Berhubung perumusan ini berkaitan dengan segi perasaan konseli sebaiknya
digunakan parafrase saja, agar tidak
terkesan membeo atau asal menanggapi pernyataan konseli.
e) Penjelasan pikiran atau gagasan (Clarification
of Content): konselor ingin memeriksa apakah penangkapannya terhadap pesan
yang disampaikan sudah benar. Misalnya: Konseli: “ Kadang saya yakin keputusan
saya benar, tetapi apakah berani menanggung akibatnya?”. Konselor: “ Agaknya
Anda belum yakin akan kemampuan Anda?”
f) Penjelasan perasaan (Clarification
of Feelings): konselor ingin memeriksa apakah penangkapannya yang berkaitan
dengan bobot perasaan yang biasanya diungkapkan konseli secara implisit sudah
benar. Dalam hal ini konselor mengadakan perception
check dengan menggunakan bentuk parafrase.
Contoh: Konseli: “ Saya merasa mendapat keuntungan dalam belajar bersama dia”.
Konselor: “Apakah Anda merasa puas selama belajar dengan dia? Benarkah
demikian?”.
g) Permintaan untuk melanjutkan (general
leads): konselor mempersilahkan konseli untuk memberikan lebih lanjut mengenai sesuatu yang telah dikemukakan.
Biasanya digunakan bentuk pertanyaan terbuka. Contoh: Konselor: “Coba anda
lanjutkan....” atau “ Lalu.....” atau “Maka....”, dsb. Teknik ini dapat
digunakan beberapa kali selama proses konseling berlangsung.
h) Pengulangan satu atau dua kata (accent):
konselor mengulangi kata kunci dalam
pernyataan konseli dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya: Konseli: “ Sekarang
saya menjadi bingung apakah kegiatan ekstra kurikuler ini akan saya lanjutkan,
karena akibatnya terlalu berat bagi saya.”. Konselor:” Bingung?” atau “
Akibatnya terlalu berat?”.
i) Ringkasan atau rangkuman (summary):
konselor secara singkat merumuskan apa yang telah dibicarakan dengan konseli.
Lebih baik apabila konseli juga membuat ringkasan dari pembicaraan yang
terjadi. Bila konselor yang merumuskan sebaiknya meminta feed back dari konseli.
j) Pertanyaan tentang hal tertentu (questioning/probing):
konselor bertanya tentang hal tertentu. Misalnya: “Kapan....?”, “Bagaimana
tadi....?”, dll. Hal yang ditanyakan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
permasalahan secara lebih lengkap.
k) Pemberian umpan balik (feedback):
dalam pemberian umpan balik ini konselor menyampaikan kepada konseli pikiran
atau perasaannya sendiri tentang sikap konseli selama wawancara berlangsung
serta kemajuan yang telah dicapai. Contoh: Konseli: “Apakah saya harus
mengambil keputusan yang lain?. Konselor: “Baik. Rupanya ada kemajuan” atau “
Keputusan yang Anda ambil kiranya dapat menghambat kemajuan pemecahan masalah
dalam hal ini”
l) Pemberian informasi (information
giving) : konselor memberi informasi kepada konseli, namun tidak mengandung
unsur saran. Pemberian informasi tidak sama dengan penjelasan. Contoh pemberian
informasi: memberi keterangan tentang kelanjutan studi, arti tes, ciri-ciri
khas Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta, dll.
m) Penyajian alternatif (forking response): konselor mengetengahkan
beberapa alternatif, konseli dipersilahkan memilih salah satu. Contoh: “Anda
ingin jadi guru, perawat atau petani organik?. Kiranya pilihan mana yang sesuai
dengan kondisi Anda dan yang dapat mendukung kemajuan Anda?
n) Penyelidikan (Investigations):
bersama konseli, konseli menyelidiki alternatif-alternatif yang mungkin dapat
dipilih, meninjau pro dan kontranya dan akibat-akibatnya. Teknik ini
berhubungan dengan decision making
dalam rangka pemecahan masalah. Contoh: Konselor: “Apa memilih keinginan
jurusan itu mendukung cita-cita Anda?”.
o) Pemberian struktur (structuring):
Konselor memberikan petunjuk urutan langkah atau tahap yang sebaiknya diikuti
agar sampai pada pemecahan masalah. Misalnya: mengajak meninjau kembali
pembicaraan, melihat kembali sasaran yang akan dicapai, dll.
p) Interpretasi ( interpretation):
interpretasi lebih mendalam dari pada
penjelasan. Dalam teknik ini konselor menambahkan sesuatu yang belum terungkap
secara eksplisit, atau yang sudah terungkap namun tidak disadari konselor. Bila
interpretasi konselor benar, konseli akan membenarkan. Namun diusahakan teknik
ini tidak menimbulkan sikap defensif karena seolah-olah konselor lebih mengerti
konseli dari pada pengertian konseli tentang dirinya sendiri. Contoh:
Konselor:” Tadi Anda mengatakan sulit memilih jurusan A dan B, padahal beaya
tidak masalah. Apakah karena jurusan A lebih bergengsi dibanding jurusan B,
meskipun lulusan jurusan B juga mudah dalam mencari pekerjaan?”
q) Konfrontasi (confrontation):
konselor memperhatikan ketidaksesuaian dalam pernyataan-pernyataan konseli
(inconsistency), antara kata dan tindakan konseli, antara ungkapan verbal dan
non verbal (kontradiksi). Biasanya konseli tidak menyadari ketidaksesuaian itu.
Namun penggunaan teknik ini menuntut kehati-hatian konselor, jangan sampai
konseli terkejut dan mungkin bersikap defensif. Contoh:” Bagaimana situasimu
sekarang” Konseli:” Ya, biasa saja..”. Namun konseli bicara dengan menunduk dan
kelihatan tidak senang. Konselor:” Biasa, tetapi kamu seperti tidak senang?”.
(kontradiksi antara ungkapan verbal dan non verbal). Ketidakcocokan antara kata
dan tindakan, contoh: Konselor:” Tadi Anda mengatakan malas membahas hal itu,
namun nyatanya Anda sudah sekitar 15 menit membicarakan hal itu”.
r) diagnosis (diagnosis):
konselor menyatakan kepada konseli inti masalah atau alasan mengapa masalah itu
timbul. Konselor mengumpulkan semua data yang ada dan menghubungkannya. Contoh:
“ Rasa cemas kalau berhadapan dengan guru A seperti yang Anda alami berasal
dari tindakan yang Anda ceritakan tadi, ketika beliau di depan kawan-kawan
membentak karena suatu hal yang tidak
Anda lakukan? Apakah demikian?”
s) Dukungan (reassurances/support):
konselor memberi semangat kepada konseli, terutama pada saat segalanya terasa
sulit. Misalnya: Konselor: “ Kiranya sulit untuk menyatakan itu pada saat-saat
awal, namun kalau Anda berani memulai tidak sesukar yang Anda bayangkan”.
t) Usul/Saran (suggestion/ advice):
konselor mengemukakan pendapatnya agar konseli mengambil atau memilih tindakan
tertentu. Hal ini dilakukan terutama bila konseli dalam keadaan bingung. Saran
digunakan apabila permasalahan sudah jelas dan konselor yakin akan sesuai
dengan keadaan konseli. Misalnya: Konselor:” Bagaimana seandainya Anda
bicara terus terang dengan pacar Anda
apabila dia tidak terlalu sibuk?”.
u) Penolakan: (critisism, negative
evaluation): konselor mengemukakan pendapatnya yang bersifat menolak
pendapat, sikap atau rencana konseli. Teknik ini sebaiknya digunakan bila
hubungan konselor dengan konseli cukup baik. Misalnya: Konselor: ”Rencana
membalas perlakuan kawan Anda yang mencemarkan nama baik Anda saya kira kurang
bijaksana”.
Teknik a sampai dengan i lebih sesuai dengan metode non directive, sedangkan j sampai dengan t lebih sesuai dengan metode directive.
Teknik-teknik konseling verbal yang telah dibahas sebaiknya diterapkan secara
luwes. Seringkali calon konselor mengalami kesulitan dalam mengenal pikiran
atau perasaan yang terungkap , baik secara eksplisit atau implisit, sehingga
timbul kesulitan dalam merumuskan tanggapan verbal berupa refleksi pikiran dan
refleksi perasaan, klarifikasi pikiran dan klarifikasi perasaan (Winkel, W.S).
Contoh kasus: Aku sedang studi tetapi akan
dinikahkan oleh orang tuaku. Padahal aku tidak senang dengan calon yang
diajukan oleh orang tuaku. Sesudah menikah aku dilarang untuk melanjutkan studi
lagi, karena calon berpendidikan lebih rendah dari aku. Sebenarnya aku anak angkat, orang tua angkatku
buta huruf, namun kaya raya. Sebenarnya aku
sudah punya pacar, tetapi pacarku tidak berani datang ke rumah. Orang tua
angkatku sayang kepadaku, tetapi berhubung kaya, mereka suka memaksakan kehendak.
Aku sangat tertekan, mengenai pacar aku tidak ada masalah, namun mengenai studi
aku bertekad akan menyelesaikannya, Bagaimanapun studiku adalah masa depanku.
Seluruh keluarga orang tuaku berpendidikan cukup tinggi.Aku ingin seperti
mereka.
Refleksi pikiran: restatement: “ Jadi Anda akan dinikahkan.” / “Orang tua
angkat Anda buta huruf namun kaya dan suka memaksakan kehendaknya”/ “Anda ingin
seperti seperti keluarga lain yang cukup
berpendidikan.”. Parafrase:” Jadi karena
buta huruf orang tuamu tua Anda tidak mengerti arti studi.”/ “Jadi Anda akan
dinikahkan dengan orang yang tidak Anda senangi.”.
Refleksi perasaan: restatement:”
Jadi Anda merasa tertekan.”. Parafrase:
“ Jadi sejak awal Anda ingin tetap sekolah, jadi Anda tertekan karena akan
dinikahkan oleh orang tua Anda.”.
Klarifikasi pikiran:” Sepenangkapan saya Anda tidak setuju akan rencana
pernikahan ini dan bertekad untuk melanjutkan studi.”/ “ Berhubung saudara yang
lain juga cukup berpendidikan, Anda juga ingin maju seperti mereka.”
Klarifikasi perasaan: “ Sejak semula Anda merasa tidak senang dengan
rencana pernikahan ini.”/ “ Jadi Anda sangat ingin melanjutkan studi dan
tertekan dengan situasi sekarang?”.
Dalam teknik refleksi dan klarifikasi, konselor menangkap ungkapan pikiran
dan perasaan konseli dengan benar dan mendeskripsikan secara variatif, sehingga
pikiran dan perasaan konseli dapat
terungkap dengan jelas.
2.
Teknik non verbal:
Perilaku non verbal dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Dalam
arti sempit, perilaku ini ditunjukkan dengan sikap badan, gerakan tangan,
pandangan mata, berdiam diri, dll. Dalam arti luas, perilaku ini ditunjukkan
dengan: gejala vokal yang menyertai ucapan, kecepatan berbicara, intonasi, dll.
G. Teori-Teori Konseling
Menurut orientasinya teori konseling dapat dibedakan menjadi teori yang
berorientasi kognitif dan teori yang berorientasi afektif. Teori yang
berorientasi kognitif adalah: teori Traits
and Factors (E.G. Williamson dan Eysenck), terapi Behavioristik (I. Pavlov,
E.L. Thorndike, dll.) dan teori Rasional Emotif (Albert Ellis). Adapun teori
yang berorientasi afektif adalah: teori Psikoanalisa (S. Freud, A.Adler,
C.G.Yung, dll), teori Client Centered
(Carl R. Rogers) dan teori Gestalt (Frederick
S. Perls).
Berikut ini
ditinjau secara singkat teori-teori tersebut:
1.
Teori yang berorientasi
kognitif:
a. Teori Traits and
Factors: teori ini berdasarkan pada optimisme hasil pendidikan. Menurut
teori ini meskipun manusia sudah dibekali pembawaan, namun pembawaan tidak
menentukan. Manusia merupakan suatu kesatuan yang utuh dan pengetahuan mengenai
dunia merupakan tujuan utama pendidikan. Walaupun demikian teori ini mengakui
perkembangan dan kepribadian manusia ditentukan oleh faktor pembawaan dan
lingkungan. Dalam diri manusia ada faktor-faktor umum dan khusus. Dengan
demikian pandangan teori ini adalah:
1) orang mempunyai kemampuan yang
disusun menurut pola tertentu
2) selain itu orang juga
mempunyai faktor-faktor khusus dalam kepribadian (traits and factors) yang dapat diterapkan agar mendapat presrasi
dalam bidang pekerjaan tertentu
3) perkembangan manusia dan
kepribadian ditentukan oleh faktor pembawaan dan lingkungan
4) manusia merupakan kesatuan
yang utuh dan pengetahuan mengenai dunia merupakan tujuan utama pendidikan.
Dasar filsafat teori ini dekat dengan empirisme dan personalisme. Menurut
aliran empirisme, meskipun manusia sudah memiliki pembawaan, hal itu tidak
menentukan, sedangkan personalisme maksudnya manusia sebagai individu yang unik
dapat menguasai dan mempengaruhi baik pembawaan maupun lingkungan (konvergensi).
Ciri-ciri
teori ini adalah:
1) menekankan pentingnya data dan
fakta dalam proses konselingnya
2) segi intelektual penting,
sedangkan segi emosi diabaikan
3) akibatnya segi pemahaman
masalah dipentingkan; klien yang dikenai masalah diabaikan
4) interpretasi data lebih pada
konselor, bukan konseling.
Konsep pokok dari teori ini adalah adanya sifat (trait). Melalui penelitian dengan metode multivariate dan analisis faktor ditentukan unsur dasar yang
terstruktur dari kepribadian, inilah yang disebut sifat. Menurut jenis dan pengelompokannya
sifat dapat dibedakan menjadi: sifat yang umum dan sifat yang unik. Sifat umum
terdapat pada semua manusia, sedangkan sifat yang unik terdapat pada
orang-orang tertentu. Sifat unik dapat dibedakan menjadi: sifat unik yang relatif
dan sifat unik yang intrinsik. Sifat unik relatif terdapat pada orang-orang
tertentu, karena pengaturan sifat yang berbeda, sedangkan sifat unik intrinsik
terjadi karena orang tersebut memang benar-benar berbeda dengan orang lain.
Selain itu sifat juga dibedakan menjadi sifat permukaan dan sifat asal. Sifat
permukaan adalah sifat yang bisa nampak pada seseorang dan dapat diamati orang
lain (interaksi pembawaan dan lingkungan). Sifat asal adalah pengaruh
struktural yang mendasari kepribadian (sifat yang berasal dari pembawaan).
Sifat asal dapat menjadi sifat permukaan, tetapi ada juga yang tetap intrinsik.
Tujuan konseling menurut teori ini adalah: memperkuat keseimbangan antara
pengaktivan dan pemahaman sifat-sifat, sehingga dapat bereaksi dengan wajar dan
stabil.
Proses konseling: peranan konselor adalah memberitahu tentang berbagai
kemampuan yang diperoleh melalui tes, sehingga dapat diramalkan karir apa atau
jurusan mana yang sesuai untuk konseli. Dengan demikian pendekatan dalam hal
ini adalah pendekatan kognitif rasional. Menurut Eysenck, teori ini dapat
digunakan untuk segala umur dengan pendekatan berbeda. Proses konseling dalam
teori ini adalah sebagai berikut:
1) Analisis: dalam proses ini dilakukan pengumpulan data. Sebelum wawancara
dilakukan, konseli maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat
dipercaya, valid dan relevan untuk mendiagnose pembawaan, minat, motif,
kesehatan, dll., yang dapat mempermudah atau menyulitkan penyesuaian yang
memuaskan, baik di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat atau pekerjaan).
Alat yang dapat digunakan misalnya: otobiografi, kartu pribadi, tes psikologis,
anekdote, dll.
2) Sintesis: merangkum dan mengatur data sehingga dapat menunjukkan
kelemahan dan kekuatan siswa.
3). Diagnosis: usaha menemukan ketepatan pola yang menuju pada
permasalahan, sebab-sebab dan sifat-sifat siswa yang berarti dan relevan yang
berpengaruh pada proses penyesuaian diri. Dalam diagnosis ada tiga langkah:
a) identifikasi masalah: bersifat deskriptif
b) menentukan sebab-sebab
c) prognosis: diagnosis kurang cerdas, maka prognosisnya: kurang cerdas
untuk pekerjaan tertentu. Setelah itu diikuti tindak lanjut sesuai dengan
permasalahan.
Selanjutnya konseling merupakan hubungan
yang bersifat bantuan bagi konseli untuk menemukan diri sendiri atau sumber
lembaga dan masyarakat yang bertujuan membantu konseli mencapai penyesuaian
yang optimal sesuai dengan kemampuannya. Hal ini mencakup lima jenis konseling,
ialah:
1) belajar terpimpin menuju pengertian diri
2) mendidik kembali individu sesuai dengan kebutuhannya
3) bantuan konselor pribadi, agar konseli terampil dan mengerti dalam
menerapkan prinsip dan teknik untuk hidup sehari-hari.
4) sebagai katarsis atau penyaluran.
b. Teori Behavior:
Pandangan teori ini
menekankanbahwa kelakuan manusia yang
konkrit merupakan hasil pengalaman masa lalu. Manusia belajar dari masa lalu,
yang dipengaruhi situasi lingkungan. Oleh karena itu masa lalu penting
pengaruhnya terhadap tingkah laku individu.
Ciri-ciri teori ini adalah:
1) menekankan segi khusus perasaan, sehingga cocok untuk “personal
counseling”
2) melalui wawancara dilakukan “desensitization” (pengurangan kepekaan
terutama menyangkut masalah emosi)
3) konselor dianggap berhasil bila dapat menciptakan situasi yang aman
4) konseling dilaksanakan dengan memperhatikan daya refleksi untuk setiap
tingkatan umur dan pendidikan.
Maher menyatakan, perilaku dipahami sebagai hasil kombinasi dari: hasil
belajar masa lalu, keadaan motif sekarang dan efek kepekaan lingkungan serta
perbedaan biologis individu secara genetik.
Proposisi dasarnya: tingkah laku yang tertib dengan eksperimen yang
dikendalikan secara seksama akan menghasilkan hukum-hukum yang mengendalikan
tingkah laku.
Menurut Corey, kondisioning itu penting. Ia mengetengahkan “assertive training”
dan “aversion theraphy”. Assertive training adalah latihan menyatakan, untuk
orang-orang yang:
1) tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelan
2) sopan berlebihan, sehingga orang lain dapat mengambil keuntungan atau
untuk mereka yang sulit mengatakan tidak
3) mereka yang sulit menyatakan cinta atau respon-respon positif yang lain
4) mereka yang merasa tidak punya hak
untuk menyatakan perasaan dan pikiran-pikirannya.
Prosedur terapi biasanya menggunakan permainan peran. Aversion theraphy biasanya digunakan untuk membebaskan diri dari
gangguan-gangguan perilaku khusus, misalnya: memberi stimulasi yang
menyakitkan, hukuman, terapi listrik, dll.
c. Teori Rasional Emotif: Rational
Emotive Theory (RET) dikembangkan oleh Albet Ellis, seorang doktor ahli dalam
psikologi terapeutik. Ellis menyebut teorinya dengan “Cognitive Theraphy”. Adapun prinsip-prinsip RET adalah:
1) salah satu kekuatan unik manusia adalah potensi berpikir rasional dan
irasional
2) tendensi kemanusiaan pada hakekatnya bersumber dari dua kekuatan di
atas. Tendensi kehidupan manusia berupa kebahagiaan, kesejahteraan, kasih,
dsb., yang secara esensial bersumber pada potensi berpikir rasional.
3) gangguan psikis, mental atau emosional adalah hasil dari proses berpikir
irasional dan ilogis. Emosi selalu menyertai setiap proses berpikir.
4) berpikir irasional terbentuk melalui pengalaman.
5) perilaku verbal akan menjadi tidak logis apabila terjadi gangguan emosi
atau dominasi emosi pada pikiran manusia.
6) perilaku manusia yang bersumber pada dua kekuatan berpikir tersebut
ditentukan sistem nilai atau ide yang diserap/dipersepsi dari dunia nyata
tempat manusia hidup.
7) gangguan emosional bukan oleh hal-hal eksternal, tetapi oleh persepsi
dan sikap seseorang terhadap peristiwa tersebut.
8) emosi dan pemikiran negatif yang bersifat “self defeating” harus
ditangani melalui pemikiran dan persepsi.
Tujuan RET:
1) memperbaiki dan merubah cara berpikir, keyakinan dan pandangan konseli
yang irasional dan ilogis menjadi rasional dan logis, agar dapat mengaktualisasikan
dirinya secara maksimal melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.
2). Menghilangkan gangguan emosional yang merusak diri sendiri, misalnya:
rasa takut, bersalah, dll., dengan cara melatih konseli menghadapi kenyataan
secara rasional.
Teori A-B-C-D-E
Salah satu teori utama tentang
kepribadian yang dikemukakan Albert Ellis dan penganut RET adalah apa yang
disebut A-B-C-D-E. Teori ini merupakan sentral dari teori dan praktek RET.
Secara umum teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Komponen Proses
A = activity/action/agent: hal-hal
atau situasi, kegiatan, External
event: kejadian di
Maupun peristiwa yang mendahului atau
menggerakkan luar atau sekitar
individu
Individu.
iB = irrational beliefs:
keyakinan-keyakinan irasional Self
verbalizations: terjadi
atau tidak layak terhadap kejadian
eksternal A dalam
diri individu, yakni
rB = rational beliefs:
keyakinan-keyakinan rasional apa
yang dikatakan secara
atau layak dan secara empirik mendukung
kejadian terus menerus
tentang A
kejadian eksternal A terhadap
dirinya
iC = irrational consequences: konsekunsi-konsekuensi Consequent
affective irasional atau tidak layak yang dianggap berasal dari A emotion:
konsekuensi yang
rC = rational or reasonable consequences: konsekuensi mempengaruhi emosi rasional atau layak
yang dianggap berasal dari A individu, baik yang positif
D = dispute irrational beliefs: yakni
keyakinan-keyakinan Validate or
invalidate self
irational dalam diri individu yang saling bertentangan verbalizaton: suatu proses self
verbalization dalam diri individu, apakah valid atau tidak.
cE = cognitive effect of disputing: efek kognitif yang Change of self verbalization,
terjadi dari pertentangan dalam keyakinan yang terjadinya perubahan dalam
irasional verbalisasi
diri
bE = behavioral effect of disputing: perilaku akibat Change behavior: perubahan
pertentangan di atas perilaku.
Implikasi dari teori A-B-C-D-E: RET dalam praktiknya menekankan unsur
“beliefs” dan “attitude” serta “human values”
sebagai hal yang memegang peranan utama dalam usaha mencapai tujuan. Hasil
akhir dari proses ini berupa pengaruh
terhadap perilaku kognitif dan emotif. Bila langkah ini
berlangsung dalam proses yang rasional dan logis, maka hasilnya berupa perilaku
yang positif, bila sebaliknya hasil akhirnya adalah perilaku yang negatif.
2.
Teori yang berorientasi
afektif
a. Teori Psikoanalisa: teori ini dibedakan menjadi dua aliran ialah: teori
klasik yang dipelopori oleh Sigmund Freud dan Carl Gustav Yung dan teori Neo Freudianisme,
yang dipelopori oleh Alfred Adler, Horney, Sullivan dan Erich Fromm. Teori ini
disebut Psikoanalitis karena mendekati masalah dari sudut tertentu. Pandangan
teori ini lebih menekankan pengaruh herediter (bawaan). Manusia mempunyai
batas-batas tertentu dalam kemampuan intelektualnya, kekuatan fisik dan perkembangan
kepribadian. Selain itu manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu yang
ingin dan harus dicapainya. Kebutuhan itu dapat berkaitan dengan segi jasmani
dan rohani individu. Pemenuhan kebutuhan ini dapat mempengaruhi tingkah laku
manusia. Tidak semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi, sehingga beberapa
kegagalan apabila tidak ditanggapi secara positif dapat mengganggu atau
mengurangi keseimbangan kepribadian orang tersebut. Inilah sebabnya orang
membutuhkan haluan yang berarti dalam hidupnya.
Ciri-ciri teori
ini adalah:
1) pola proses konseling menekankan sejarah seseorang
2) menitikberatkan pada pola kehidupan manusia yang dinamis (dapat positif
atau negatif)
3) konseli diajak berbicara banyak tentang dirinya sendiri, sehingga
motivasi dari pihak konseli penting.
Teknik dasar dalam
Psikoanalisa ialah:
1) asosiasi bebas: konseli diajak untuk menjernihkan pikiran dari kejadian
sehari-hari dan mengatakan sebanyak mungkin apa yang muncul dalam kesadarannya,
tanpa sensor.
Asosiasi bebas adalah metode pengungkapan masa lalu dan
menghentikan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik di masa lalu.
Hal ini disebut juga dengan katarsis, namun katarsis dalam hal ini hanya sempat
mengurangi pengalaman yang menyakitkan sementara saja. Sedangkan dengan
asosiasi bebas konseli dibantu untuk memperoleh pengetahuan dan evaluasi
tentang dirinya sendiri. Tugas analis (konselor) dalam hal ini adalah
mengidentifikasi hal-hal yang tertekan dan terkunci dalam ketidaksadaran.
Urutan asosiasi yang dikemukakan konseli membimbing konselor dalam memahami
kaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Konselor menafsirkan apa
yang dikatakan konseli, membimbing ke arah tilikan ke dalam dinamika diri yang
tidak disadari.
2) interpretasi: prosedur dasar yang digunakan dalam menganalisis bebas,
resistensi dan transferens. Resistensi adalah sesuatu yang bekerja melawan
kemajuan terapi dan mencegah konseli menampilkan hal-hal yang tidak disadari
selama asosiasi bebas atau asosiasi mimpi. Transferens adalah kegiatan masa
lalu yang tidak terselesaikan dengan orang lain, yang menyebabkan konseli
mengubah situasi masa kini dan mereaksi kepada konselor seperti terhadap orang
yang mempunyai masalah terhadap dia. Dengan demikian konseli mengalami kembali
perasaan penolakan atau permusuhan yang pernah dialaminya dengan orang-orang
tertentu di masa lampau. Fungsi interpretasi dalam hal ini adalah membiarkan
ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang
tersembunyi. Prosedurnya adalah: penetapan konselor, penjelasan bahkan
mengajarkan konseli tentang makna tingkah laku yang dimanifestasikan dalam
asosiasi bebas, mimpi, resistensi maupun transferens.
Hal penting yang harus diperhatikan
ialah: interpretasi harus dilakukan pada waktu yang tepat, karena bila tidak,
konseli akan menolaknya. Untuk itu ada tiga hal yang harus diperhatikan, ialah:
a) interpretasi dilakukan pada saat ada gejala yang muncul, yang berkaitan
erat dengan hal-hal yang disadari konseli
b) interpretasi hendaknya selalu dimulai dari permukaan, sesudah itu menuju
hal-hal yang dalam, yang dapat dialami oleh situasi emosional konseli
c) menetapkan resistensi atau pertahanan sebelum menginterpretasi emosi dan
konflik.
3) analisis mimpi: prosedur penting untuk membuka hal-hal yang tidak
disadari dan mengajak konseli memperoleh tilikan tentang masalah-masalah yang
belum terselesaikan atau terpecahkan. Selama tidur pertahanan menjadi lemah dan
perasaan- perasaan tertekan muncul ke permukaan. Mimpi mempunyai dua tingkatan
isi, ialah:
“ the latent content”, yang terdiri dari
motif samar-samar, tersembunyi, simbolik dan tidak disadari. Hal-hal tersebut
dapat sangat menyakitkan sehingga diubah menjadi “manifest content” yang lebih dapat diterima olah orang yang
bermimpi. Proses antara ke dua tingkatan ini disebut “dream work” atau kerja mimpi. Tugas konselor dalam hal ini adalah
membuka makna yang tersamar dengan mempelajari simbol-simbol dalam “manifest content”. Selama pertemuan
konselor dapat meminta bantuan konseli untuk mengasosiasi secara bebas beberapa
aspek manifes isi dengan maksud membuka makna laten.
4) Analisis resistensi: selama asosiasi bebas atau asosiasi mimpi, konseli
mungkin tidak mau mengkaitkan pemikiran, perasaan dan pengalaman tertentu
sebagai suatu pertahanan melawan kecemasan, ketakutan atau perasaan-perasaan
lain yang negatif. Freud memandang
resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang
untuk mempertahankan diri terhadap kecemasan. Hal ini timbul bila orang menjadi
sadar terhadap dorongan dan perasaan yang tertekan. Interpretasi dalam hal ini
bertujuan untuk membantu konseli menyadari alasan timbulnya resistensi. Sebagai
ketentuan umum konselor meminta perhatian konseli dengan menafsirkan resistensi
yang paling nampak, untuk memperkecil kemungkinan penolakan konseli terhadap
interpretasi.
Resistensi bukan sesuatu yang harus
diatasi, karena memang merupakan gambaran pertahanan konseli dalam hidup
sehari-hari terutama dalam menghadapi kecemasan.
5) Analisis transferens: transferens muncul dengan sendirinya dalam proses
konseling. Dalam proses ini koneli mengalami kembali situasi dan reaksi yang
tidak mengenakkan misalnya ditolak atau dimusuhi orang lain. Situasi ini tidak
terselesaikan di masa lalu dan saat konseling, konseli mereaksi kembali kepada
konselor sebagaimana dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenanginya.
Analisis transferens adalah teknik sentral dalam psikoanalisis yang memberikan
kesempatan kepada konseli menghidupkan kembali masa lalunya dalam proses
konseling.
Tidak semua teknik tersbut di atas sesuai atau dapat digunakan dalam proses
konseling, karena dalam proses konseling, konselor menghadapi anak atau orang
normal yang bermasalah. Namun ada yang berpendapat behwa teknik-teknik tersebut
dapat digunakan secara hati-hati dan bijaksana dalam rangka konseling di
sekolah, terutama dalam pengungkapan kembali hal-hal yang menyakitkan atau
tidak mengenakkan yang pernah dialami siswa.
b. Teori “Client Centered”
Tokoh teori ini adalah Carl R. Rogers. Dasar pandangan teori ini menekankan
bahwa manusia pada dasarnya baik dan dapat dipercaya. Selain itu manusia selalu
ingin bergaul dengan orang lain secara damai dan saling memuaskan. Jadi dasar
filosofis dari teori ini adalah keyakinan pada harkat dan martabat manusia.
Pandangan teori ini lebih berkaitan dengan segi kepribadian manusia. Adapun
pandangannya sebagai berikut:
1) setiap manusia merupakan pusat yang membentuk dunia perasaan dan dunia
pikirannya sendiri (dunia subyektif) yang hanya diketahui dan dimengerti oleh
dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia bertindak menurut tafsiran-tafsirannya
sendiri. Dalam hal ini sering timbul masalah, karena tafsiran-tafsiran pribadi
belum tentu sesuai dengan dunia nyata.
2) untuk memahami orang lain, kiranya cara yang tepat ialah melihat dari
sudut pandang orang itu (frame of
reference).
3) Selanjutnya menurut teori ini, orang yang normal akan menyesuaikan
tingkah lakunya dengan “self concept”
nya. Yang dimaksud self concept
adalah gambaran yang dipunyai seseorang tentang dirinya sendiri sejauh
evaluasinya terhadap gambaran tersebut.
Tujuan dari teori ini adalah
pembinaan kepribadian konseli yang integral dan mandiri, yang sanggup mengatasi
masalah-masalahnya sendiri. Dalam hal ini masalah belum tentu dapat diatasi
secara tuntas, namun sasaran teori ini adalah keseimbangan dalam diri konseli.
Titik tolak proses konseling adalah keadaan individu sekarang, bukan
pengalaman masa lalu. Proses konseling
merupakan proses penyerasian gambaran diri konseli dengan keadaan dirinya yang
sesungguhnya atau pengalaman dirinya. Pengalaman atau penyerasian tercapai bila
konseli telah mampu memandang fakta-fakta lama dengan menggunakan pandangan
baru atau dihubungkan dengan hal-hal baru. Selain itu pemahaman dirinya
berkembang terus ke arah yang serasi dan yang lebih adekuat. Dengan demikian
diharapkan konseli lebih mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya
dan dapat memilih atau menentukan tujuan hidupnya atas tanggung jawabnya
sendiri. Peranan konselor dalam hal ini adalah pasif reflektif, sedangkan
konseli diharapkan lebih aktif peranannya dalam proses konseling.
c. Teori Gestalt
Teori ini diangkat dari kegiatan terapi yang dilakukan oleh Frederick S.
Perls. Teori ini dipengaruhi tiga disiplin ilmu ialah: Psikoanalisis,
Fenomenologi Eksistensialis dan Gestalt. Namun dasar atau filsafatnya lebih
pada Gestalt. Ciri-ciri dalam teori ini:
1) penyadaran: menunjuk pada suatu jenis pengalaman seketika dan berkembang
karena hubungan individu dengan lingkungan, serta merupakan bagian dari
hubungan tersebut. Penyadaran mencakup pikiran dan perasaan berdasarkan
persepsi individu pada saat sekarang terhadap situasi sekarang. Sedangkan masa
lampau membentuk masa sekarang. Menurut teori Gestalt dalam hal kepribadian ,
individu dipandang sebagai suatu sistem dalam keseimbangan. Ia hidup dalam
tingkatan umum dan tingkatan pribadi. Ketidakseimbangan dirasakan sebagai
kebutuhan korektif. Kesadaran memungkinkan pengaturan diri dan pengendalian diri.
2) konseling melakukan proses penyembuhannya
sendiri, konselor lebih sebagai pengamat, komentator dan pembimbing okasional.
Perhatian utama menurut teori ini adalah
membantu individu melalui transisinya
dari keadaan selalu dibantu lingkungan ke keadaan mandiri. Melalui proyeksi
dirinya pada konselor, diharapkan konseli menjadi sadar, bahwa baik konselor
maupun konseli ternyata tidak memiliki pribadi yang sempurna. Artinya bahwa ada
bagian kepribadiannya yang hilang, seperti yang dialami setiap orang.
3) konseling ini cocok untuk orang yang memiliki phobia dan menekan diri
atau terlalu sosial.
Menurut Perls, teori Freud tidak
sempurna, karena menekankan “super ego” sebagai “top dog”, yang menyangkut
kekuasaan, kebenaran dan kesempurnaan. “Top dog” menghukum seseorang dengan
keharusan , ketakutan, ancaman, dll. Lawan dari ini ialah kata hati, karena
kata hati menguasai individu dengan penekanan yang baik. Menurut Perls,
individu tersiksa oleh ke dua kekuatan dari dalam tersebut yang selalu berlomba
mengontrolnya. Konflik ini tidak pernah sempurna dan merupakan bentuk
penyiksaan diri. Pertentangan karena keberadaan sosial dan biologis merupakan
konsep dasar konseling ini. Banyak orang yang mencoba mengatakan yang
seharusnya dai pada yang sebenarnya.
Proses konseling
menurut teori:
1) konselor dan konseli membentuk
pola pertemuan yang bersifat menyembuhkan
2) melaksanakanpengawasan atau
pengendalian, dengan menimbulkan motivasi pada diri konseli, terutama
penyadaran masalah dan menciptakan situasi yang hangat (rapport)
3) konseli didorong menyatakan
perasaa-perasaannya pada masa mereka mengalami masalah. Dalam situasi ini
konseli diberi kebebasan untuk berasosiasi, berproyeksi; yang nantinya akan
diarahkan. Bila kekurangan kepribadian muncul, cara mengatasinya adalah dengan:
reidentifikasi atau memerankan bagian-bagian perasaannya sendiri.
4) Pada akhir proses diharapkan
konseli menunjukkan identitas dirinya.
BAB V
BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
A. Bimbingan Kelompok
Menurut J. Warterz: bimbingan kelompok adalah penggunaan secara sadar
pengalaman-pengalaman kelompok untuk memacu perkembangan yang baik dari peserta
dan mencapai tujuan yang diharapkan.
1.
Alasan penggunaan bimbingan
kelompok adalah:
a. menghemat waktu, tenaga, beaya, tempat, dll.
b. bagi sejumlah siswa mungkin
satu-satunya kesempatan untuk membicarakan masalahnya, misalnya: malu
membicarakan masalahnya secara individual, kurang jelas akan suatu informasi
yang berlaku umum, dll.
c. dapat menjadi persiapan untuk wawancara individual
d. khusus untuk konseling kelompok; dapat untuk menggantikan konseling
individual, karena dalam konseling ini
siswa dengan masalah yang kurang lebih sama dikumpulkan untuk menjalani
konseling bersama-sama.
2. Bentuk bimbingan
kelompok:
a. “group guidance class” atau bimbingan kelompok secara klasikal. Adapun
ciri-cirinya: tekanan pada siswa, tidak ada evaluasi dan pelaksanaannya
teratur. Mengenai isi materi biasanya lebih menyangkut masalah belajar,
bergaul, adat kebiasaan, seksualitas, dll. Kesulitan dalam hal ini adalah apabila
pembimbing sebagai guru kelas ada kemungkinan atau kecenderungan pembicaraan seperti pelajaran biasa.
b. kelompok diskusi; dengan ciri-ciri:ada masalah, timbul pertanyaan dan
mencoba mencari penyelesaian. Setiap kelompok memberi laporan tentang pembicaraan
atau proses penyelesaian masalah dalam kelompok, dibicarakan bersama dan
pembimbing memberi komentar.
c. kelompok bekerja atau kelompok belajar; dengan ciri: ada tema atau tugas
tertentu yang harus dikerjakan siswa dan biasanya ada evaluasi. Peranan guru
matapelajaran penting dalam hal ini.
d. “home room” atau ruang untuk berkumpul atau memberi pengumuman tentang
bermacam-macam hal, konferensi umum, dll. Adapun tujuannya adalah menciptakan
suasana demokratis, hubungan yang baik antara murid dan guru. Penggunaannya
terutama untuk pertemuan kelompok tentang tema-tema aktivitas sosial,
pertandingan-pertandingan, penjelasan tentang perubahan peraturan, dsb.
Aspek-aspek bimbingannya terletak pada: guru mempelajari kebutuhan atau
keadaan siswa-siswanya, setelah
pertemuan siswa lega dan kadang sembuh dari tekanan-tekanan.
e. kegiatan ekstra kurikuler: kegiatan Pramuka, Palang Merah Remaja,
Kesenian, dll.
3.
“Group Guidance Class” dan
Sosiodrama
Berikut ini dibahas khusus
tentang “group guidance class” dan sosiodrama:
Dalam
bimbingan kelompok di kelas dibahas sejumlah masalah secara teratur oleh
pembimbing. Isi kursus terstruktur dan diberikan secara informal, terutama
untuk siswa Sekolah Menengah. Dalam hal ini tidak ada evaluasi. Bentuk
bimbingan kelompok di kelas dapat berupa sosiodrama atau “role playing” (bermain peran). Menurut J.L. Moreno, sosiodrama
lebih menekankan pentingnya pengaruh
belajar melalui kreativitas dan spontanitas. Jadi lebih menekankan pentingnya
drama terhadap pemain dan penonton, sedangkan tokoh pendahulu Aristoteles lebih
menekankan pengaruh pemain terhadap penonton. Namun pentingnya pengaruh belajar
melalui kreativitas dan spontanitas ini sering terhambat atau terlarang oleh
situasi kultural. Dasar sosiodrama adalah interaksi sosial dimana individu
dipandang sebagai totalitas. Keunikan pribadi muncul sewaktu memerankan suatu
peran dalam hubungan dengan pihak lain. Diharapkan dengan sosiodrama orang
dapat mengenal atau menilai diri sendiri serta orang lain, sehingga dapat
menghasilkan respon yang layak terhadap pihak lain.
Penerapan
sosiodrama: kegiatan ini dapat diterapkan pada setiap metode dramatis
paedagogis atau metode terapi. Dalam hal ini siswa atau peserta memproyeksikan
sikap-sikap atau tingkah laku dan perasaan diri sendiri atau orang lain. Khusus
untuk terapi dapat digunakan psikodrama.
Tujuan
utama sosiodrama adalah: menguraikan kembali konflik-konflik atau mereduksi
konflik dan mengembangkan pemahaman.
Prosedur
umum menyelenggarakan sosiodrama adalah:
a. permasalahan dikemukakan, didiskusikan, dipelajari dan dimengerti
batas-batasnya.
b. situasi yang problematik dari masalah disandiwarakan, seolah-olah aktual
dan dapat terjadi, sehingga kelompok dapat mengerti lebih mendalam
permasalahannya dan pemecahan masalah yang diajukan.
c. selesai mendramatisir, kelompok menilai efektif tidaknya cara penyelesaian demikian
d. mementaskan kembali dengan pemecahan baru (apabila spontanitas terjaga,
maka pementasan kembali tidak akan serupa dengan yang lalu).
Di
dalam sosiodrama ada “role taking”
dan “role playing”. “ Role taking” adalah pengambilan atau
pemilihan peran sedangkan “role playing”
adalah memainkan peran tersebut. Dalam “role
taking” peran hendaknya dipilih secara bebas, yang penting bukan pemecahan
soal, melainkan memperoleh kesadaran pribadi dan obyektivitas dalam persoalan
tentang “human relationship” pada
umumnya. Diskusi tentang adegan dapat diikuti pementasan kembali, baik dengan
pemain lama maupun baru. Pementasan
baru ini dapat sebagai “mirror tehnique”; dpat pula dijalankan
sebagai “the technique of reversing life
roles” atau teknik pembalikan peran hidup. Orang mengambil peranan orang
yang dipandang negatif untuk membangkitkan pengertian atas seluruh situasi.
Diharapkan dengan ini ditimbulkan
perasaan aman. Selain itu “role playing”
juga dapat dilakukan dengan teknik
bicara sendirian (the technique of
soliloque), yaitu pemain boleh menyatakan pikiran, perasaan-perasaannya
dengan isyarat-isyarat atau nada rendah, dsb. Teknik ini membangkitkan katarsis
yang bersifat ekspresif. Pemilihan situasi haruslah menegangkan dan memiliki
arti personal bagi anggota kelompok. Misalnya: persoalan dengan kawan, guru
atau keluarga di rumah, hubungan dengan tetangga, situasi kerja, dll.
Kadang-kadang situasi tidak dapat dimainkan karena alasan moral, norma
institusi, tuntutan legal, kurang pengalaman, dsb. Bagaimanapun
penggunaannya sosiodrama tetap memiliki
nilai edukatif. Untuk situasi tertentu yang tidak dapat diselidiki di dalam
kelas, dapat dilakukan dengan “group
counseling”
Contoh
penggunaan bimbingan kelompok di sekolah, misalnya menyangkut masalah
pelanggaran lalu lintas, pelanggaran aturan sekolah, penyesuaian pada aturan
baru, dll. Bentuk bimbingan ini dapat dikombinasikan dengan “case conference”, dilanjutkan dengan
mengkonkritkan rencana kerja. Selain itu juga dapat untuk memahami problem riel
dan problem orang tua dan anak.
Menurut
Levy Bruhl, teknik sosiodrama melibatkan tiga penghayatan dramatis :
a. penghayatan personal: misalnya situasi yang mengharukan. Dalam
psikodrama hal ini menjadi tema sentral.
b. penghayatan interpersonal: penghayatan yang bersifat sosial dan membantu
mengatasi rintangan-rintangan hubungan personal di antara anggota kelompok. Hal
ini dialami sewaktu mendramatisasikan.
c. penghayatan “societal”, penghayatan
sewaktu anggota kelompok memainkan peranan yang membawakan ketidakteraturan
masyarakat.
Keuntungan
sosiodrama adalah:
a. dalam situasi bebas dan terlindung individu dapat mendapatkan kembali
konflik-konflik dan mencurahkan perasaan-perasaan, dsb.
b. akting spontan menolong individu mengembangkan kepercayaan diri dalam
menghadapi situasi yang semula ditakutkan.
c. mengadakan diskusi setelah suatu adegan dan mencoba mementaskannya
kembali. Dengan pemecahan yang lebih baik, diharapkan dapat memupuk belajar
individu dalam mengubah sikap berpikir fantastis ke realistis atau reflektif,
memupuk sikap demokrasi, dapat bekerjasama dan dapat melaksanakan rencana
dengan baik.
d. mendidik kelompok sesuai dengan situasi khusus.
Adapun
resiko atau kekurangan sosiodrama adalah:
a. dapat berkembang ke arah
psikodrama
b. pemilihan situasi dapat
menyinggung dan menyakiti anggota atau pemain yang lain
c. ada kemungkinan
penyingkapan pribadi yang keterlaluan dari anggota atau pemain
d. terlalu banyak aktivitas
yang membebani pemimpin
e. “role playing” yang kacau dapat memboros-boroskan waktu.
Contoh
penggunaan sosiodrama di sekolah:
a. dapat dikombinasikan dengan “case
conference”; mengkonkritkan rencana kerja dengan terstruktur
b. memahami masalah nyata; permasalahan orang tua dan siswa, pelanggaran
lalu lintas, sopan santun, pelanggaran aturan sekolah, dll.
B. Konseling Kelompok (Group Counseling)
Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari bimbingan kelompok atau
proses konseling yang berlangsung dalam kelompok. Kegiatan ini bertujuan
memecahkan masalah-masalah emosional dan pribadi. Dengan demikian
masalah-masalah yang dihadapi konseli kurang lebih sama, selain itu individu
mengalami sedikit gangguan emosional dan kurang bereaksi terhadap penanganan
konseling individual. Diharapkan melalui kegiatan ini konseli dapat
mengekspresikan dirinya secara sehat. Salah satu karakteristik dari orang yang
dapat mengekspresikan diri secara sehat
adalah dengan memiliki integritas. Integritas dalam hal ini adalah orang yang dapat
berbicara dan hidup dari kedalaman kepribadian atau orang yang dapat
menunjukkan diri sebenarnya atau keseluruhan dirinya. Untuk itu diperlukan juga
orisinalitas, untuk mengingatkan bahwa setiap individu adalah unik atau berbeda
dengan yang lain. Apabila orang mencapai keunikan dirinya, dia menjadi otonom,
lepas dari selubung sistem aturan eksternal yang menghambat dan cenderung
menjadi dinamis dari waktu ke waktu. Dengan demikian orang yang yang berhasil
mencapai orisinalitas akan lebih mampu menghadapi krisis kehidupan yang
berubah-ubah. Tentu saja harapan ini ideal, namun dengan perkembangan individu
yang mau membicarakan permasalahannya dalam koseling kelompok, paling tidak
harapan ini dapat didekati. Selanjutnya metode yang
digunakan dalam konseling kelompok ialah: metode “directive” untuk tanya jawab
dan kadang dengan metode “non ditective” untuk “free discussion”. Adapun
komposisi kelompok, dapat disusun sebagai berikut:
1. menurut jenis masalah: siswa dapat dikelompokkan menurut jenis masalah
yang sama
2. menurut jenis kelamin: siswa dikelompokkan sesuai dengan jenis kelamin
(putra atau putri) dan dengan masalah yang sama.
Dalam proses konseling kelompok ini sebaiknya siswa pengganggu jangan
diikutsertakan, misalnya: mereka yang mencari perhatian. Adapun yang perlu
dipersiapkan adalah: ruang dengan situasi yang tenang, tempat duduk keliling,
penerangan cukup.
Adapun fase-fase
konseling menurut Rogers (juga untuk konseling individual) adalah:
1. pelepasan emosi
2. eksplorasi
sedikit-sedikit tentang sikap konseli
3. timbul
kesadaran akan unsur-unsur peribadi yang terpendam
4. penerimaan
terhadap problem yang berubah karena kemudian persepsi berubah
5. konsep kelompok
tentang diri sendiri berubah
6. cara bertindak
yang baru yang sesuai dengan realitas
7. akibat yang
diharapkan: ada kemajuan dalam hubungan sosial dan interpersonal.
Perumusan hasil
dapat ditempuh dengan cara:
1. melihat kembali tujuan bimbingan dan konseling, ialah mampu menilai diri
sendiri (bila berhasil)
2. menentukan hasil saat ini sulit, biasanya hanya dapat diamati dengan
menurunnya keteganga
Keuntungan
konseling kelompok adalah:
1. kesempatan menguji diri dalam kelompok
2.keterlibatan dalam kelompok membantu memahami diri sendiri dan dapat
menimbulkan kepercayaan diri.
Setelah selesai kegiatan konseling, konselor wajib menyusun suatu laporan
konseling, mencatat kemajuan yang dicapai oleh individu atau kelompok kasus.
Dalam laporan tentu saja inti masalah dan hasil wawancara menjadi fokus
pelaporan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rogers, C.R. 1987. Antara Engkau dan Aku. Jakarta:
Gramedia.
2.
Winkel, W.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda disini