KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat taufik
dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Penulisan
makalah yang berjudul “Masalah Pengangguran di Indonesia” ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran
terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penulis
menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan
dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Pengantar
Ilmu Ekonomi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis
berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan
prestasi di masa yang akan datang.
Jatinangor,
Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.................................................................
...........................1
B. Rumusan
Masalah..................................................................................
.....2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................
...........3
D. Metode Pengumpulan
Data................................................................. ........3
E. Sistematika
Penulisan.......................................................... .......................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran
.............................................................................
...5
B. Masalah Pengangguran di
Indonesia........................................................ . .6
C. Keadaan Pengangguran di
Indonesia.................................................... . . .13
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan
Kerja......................16
E. Pengangguran Mengakibatkan
Kemiskinan......................................... . . . . .17
F. Dampak Pengangguran di Indonesia Terhadap
Pertumbuhan Asean........21
G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja
dan Mengurangi
Pengangguran...........................................................................................
25
H. Data Pengangguran di Indonesia...................................... ........................32
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia.............................. .............32
2. Angka Pengangguran Menurut Umur...................................... ...............33
3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan....................33
4. Tabel Tingkat Pengangguran di Indonesia............................................ ..35
5. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran.........................37
H. Data Pengangguran di Indonesia...................................... ........................32
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia.............................. .............32
2. Angka Pengangguran Menurut Umur...................................... ...............33
3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan....................33
4. Tabel Tingkat Pengangguran di Indonesia............................................ ..35
5. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran.........................37
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................
.........44
B. Solusi Masalah Pengangguran di
Indonesia.......................................... . . .44
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
.........................5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perekonomian Indonesia
sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat
kondisi ketenagakerjaan Indonesia
ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga
tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah
pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika
pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap
bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya
3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga
kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5
juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari
kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran.di.Indonesia.bertambah.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta.
Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001
(8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta).
Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan,
pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah
penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela
(24,422 juta); pada 2002: usia kerja
(148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang
kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur
terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak
diketahui jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah
banyak pengangguran, apalagi di tahun 2003 hingga 2007
pasti jumlah penggangguran semakin bertambah dan mengakibatkan
kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Seperti yang
telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian definisi pengangguran
2. Apa yang menjadi masalah pengangguran di indonesia
3. Bagaimana keadaan pengangguran di Indonesia
4. Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Pengangguran mengakibatkan kemiskinan
6. Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean
2. Apa yang menjadi masalah pengangguran di indonesia
3. Bagaimana keadaan pengangguran di Indonesia
4. Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Pengangguran mengakibatkan kemiskinan
6. Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean
7. Apa janji realisasi Industri untuk
menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran
8. Sajian data pengangguran di indonesia
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah yang
berjudul ”Masalah Pengangguran
di Indonesia” adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahu Definisi Pengangguran
2. Mengetahui apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia.
3. Mengetahui keadaan pengangguran d Indonesia
4. Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.
6. Mengetahui dampak pengangguran di Indonesia terhadap pertumbuhan asean
7. Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran
2. Mengetahui apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia.
3. Mengetahui keadaan pengangguran d Indonesia
4. Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.
6. Mengetahui dampak pengangguran di Indonesia terhadap pertumbuhan asean
7. Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran
8. Mengetahui data – data tentang
pengangguran.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam
penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan
makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode
pengumpulan data, yang pertama browsing di Internet,
kedua dengan membaca media cetak dan dengan pengetahuan yang penulis miliki.
E.
Sistematika Penulisan
Makalah ”Masalah Pengangguran di
Indonesia ini disusun dengan urutan
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang
latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode
pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan
Pada
bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari definisi pengangguran,
apa masalah pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan pengangguran di indonesia, bagaimana
keadaan angkatan kerja dan keadaan kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan kemiskinan, apa dampak pengangguran
di indonesia terhadap pertumbuhan asean, apa realisasi industri untuk menyerap tenaga
kerja dan mengurangi pengangguran,
serta penyajian data pengangguran di indonesia.
Bab III Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan
dan solusi terhadap masalah
pengangguran di Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi
referensi-referensi dari berbagai media yang penulis
gunakan untuk pembuatan makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran
Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi
waktu tertentu, yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak
bekerja, baik dalam arti mendapatkan upah atau bekerja
mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam arti mempunyai
kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut. Selain definisi di atas masih banyak istilah
arti definisi pengangguran diantaranya:
Definisi
pengangguran menurut Sadono Sukirno
Pengangguran adalah
suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja
ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
Definisi
pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak
Pengangguran
adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama
seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh
pekerjaan. Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan
latihan tenaga kerja . Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan
pekerjaan yang menghasilkan uang
meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.
Definisi
pengangguran menurut Menakertrans
Pengangguran
adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan suatu usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena
merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
B. Masalah
Pengangguran di Indonesia
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama
sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua
hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha
mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu
menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah
dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran,
produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang
sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah- masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam
persen.
Ketiadaan pendapatan
menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran
konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan
keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka
panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita
suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya
bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan
oleh lebih banyak orang.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah
mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai
dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang
besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata.
Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,
menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan,
dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan
kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka
panjang.
Kondisi
pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi
merupakan
pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban
keluarga
dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan
keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan
dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental
serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga
mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk
mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan
anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu
pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah
pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk
menumbuh kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang
mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses, pendamping,
pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang
saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan
kesempatan kerja.
Gerakan Nasional
Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat
70 persen
penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan
penanganan
khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan
kesempatan kerja
khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-
unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun
kebijakan dan strategi serta melaksanakan program
penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur
kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah
pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan
pengusaha, perwakilan perguruan tinggi, menandatangani
deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H.
Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR.
J.P. Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan,
Bina Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari para
tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan di Indonesia
harus segera ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.
Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk
membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke
daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya
mengatasi pengangguran
Dalam deklarasi itu ditegaskan,
bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan
GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen
bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya
penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya
penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata fungsi dan
tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan
tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu,
dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing
pihak, baik pemerintah maupun swasta harus dikaitkan
dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Februari 2004
yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga
berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di
Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah
pengangguran; keadaan angkatan kerja; dan keadaan
kesempatan kerja; serta sasaran yang akan dicapai. Dalam
konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa pembukaan UUD
1945 mengamanatkan: “… untuk membentuk suatu. Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia,
dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa …”. Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa : ” tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan ” dan pada Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa:”
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal
ini berarti, bahwa secara konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup, produktif dan remuneratif..
Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa
upaya-upaya penanganan pengangguran yang telah
dilaksanakan selama ini masih belum memenuhi harapan,
serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi Penanggulangan
Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut
sertakan pihak-pihak terkait sedang menyusun konsepsi
penanggulangan pengangguran. Dalam proses penyusunan ini
telah dilakukan beberapa kali pembahasan di lingkungan
Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara terbatas
(Apindo dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan beberapa Departemen dan Bappenas. ” Memperhatikan kompleksnya permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut
masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan
berbagai pihak yang lebih luas, antara lain sangat
dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra
DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih
memerlukan waktu dan dukungan
biaya sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan suatu
Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung
oleh seluruh komponen masyarakat”, tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai
pertumbuhan ekonomi 6 persen, yang berlangsung selama enam bulan
sejak triwulan IV tahun 2004 hingga triwulan I tahun
2005, sebagai pertumbuhan tidak berkualitas karena tak
mampu menekan pengangguran yang malah naik 10,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi itu dinilai semu karena kesejahteraan masyarakat
tidak semakin membaik. Hal itu tercermin dari munculnya kasus
busung lapar di beberapa lokasi.
Direktur Utama Indef M Fadhil Hasan mengungkapkan hal tersebut saat
memublikasikan Kajian Tengah Tahun 2005 di Jakarta, Rabu (3/8). ”Ini merupakan anomali dalam perekonomian Indonesia,” ungkap Fadhil menjelaskan.
Menurut dia, pertumbuhan semu itu terjadi karena kontribusi penggerak
ekonomi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh
berlangsungnya penurunan impor sehingga ekspor bersih Indonesia
seolah-olah membaik. Pada triwulan I 2005 nilai impor
menurun sebesar 0,49 persen dibandingkan dengan impor
triwulan IV tahun 2004.
”Selain itu, pertumbuhan ini
tidak terjadi pada sektor yang menyerap tenaga kerja
dalam jumlah besar, seperti pertanian, industri manufaktur, dan sektor bangunan. Indeks Tendensi Bisnis menurun ke level pesimistis
dari 113,5 di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada
triwulan I 2005,” kata Fadhil.
Sementara itu, Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I 2005 memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi
satu persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp 26,2
triliun. Itu berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari
target APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33 triliun atau 0,8
persen terhadap PDB.
Defisit itu terjadi karena selisih antara realisasi keuangan
pemerintah Semester I dan perkiraan Semester II 2005.
Pemerintah memperkirakan pendapatan negara dan hibah akan
mencapai Rp 516,03 triliun atau lima
persen lebih tinggi dari target APBN-P 2005 senilai Rp
491,59 triliun. Sementara belanja negara diperkirakan Rp
542,2 triliun atau 5,9 persen di atas target yang ditetapkan
APBN-P 2005.
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah
lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari
kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan
pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya
informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga
berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan
kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi
bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang
kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13
juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah
yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia
penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia
muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas
nasional. Masalah lainnya adalah jumlah setengah
penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja
normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang
lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang
mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian
masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur
berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E
LIPI) memprediksi bahwa jumlahpengangguran tahun ini akan
meningkat menjadi 11,833 juta orang. Angka tersebut belum
termasuk eks tenagakerja Indonesia (TKI) yang kembali ke
Tanah Air dari Malaysia
dan pengangguran akibat bencana tsunami di Aceh.
"Angka ini berbeda dengan
yang dikeluarkan pemerintah yang menyatakan pengangguran
pada 2005 sekitar 9,9juta orang," kata Koordinator P2E
LIPI, Wijaya Adi, kepada wartawan di Jakarta kemarin.Menurut Wijaya, tingginya angka pengangguran terkait dengan fenomena yang muncul pada
masa krisis, yaitupertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan
konsumsi. Padahal konsumsi tidak memberikan pengaruh
kepada penyerapan tenaga kerja. Bila sebelum krisis
kenaikan pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu menyerap 400
ribu tenaga kerja, sekarang hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja.
Padahal dalam setahun, menurut dia, tambahan angkatan kerja mencapai
2,5 juta orang atau 12,5 juta orang selama lima tahun. Dengan target pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5 persen, tenaga kerja yang dapat
diserap hanya 1,375 juta orang. "Tambahan pengangguran pada
2005 akan berkisar pada angka 1,125 juta orang,"
ujarnya. "Ditambah stok penganggur pada tahun-tahun
sebelumnya, diperkirakan jumlah penganggur pada 2005 akan berkisar 11,833 juta orang."
Penelitian LIPI tersebut belum memperhitungkan pengangguran pascatsunami di Aceh. Akibat bencana ini, boleh jadi angka
pengangguran di Indonesia
akan lebih besar. Sebab, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), ada 600 ribu pengangguran pascabencana tersebut. ILO
memperkirakan, tingkat pengangguran di provinsi-provinsi
yang terkena dampak bencana ini
diperkirakan
30 persen atau lebih, meningkat drastis dari tingkat 6,8 persen di provinsi-provinsi tersebut sebelum tertimpa bencana (Koran Tempo,
24/1). Wijaya membenarkan bila memperhitungkan eks TKI
dan pascatsunami, angka pengangguran bisa lebih besar
lagi. "Perkiraan saya ada tambahan pengangguran
sekitar 500 ribu orang," tuturnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan, masalah ketenagakerjaan menjadi semakin
pelik karena setiap tahun upah buruh diwajibkan naik. Padahal
penentuan upah buruh tidak dikaitkan secara langsung
dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam batas tertentu,
kata dia, hal itu akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan pada gilirannya akan mempengaruhi daya saing. Padahal di berbagai
negara pesaing Indonesia,
seperti Vietnam,
upah buruh relatif lebih rendah dengan produktivitas
tenaga kerja lebih tinggi atau sama. Menurut dia, jika persoalan ini tidak diselesaikan, konflik antara pengusaha dan tenaga kerja akan
tetap berlanjut."Dalam jangka panjang hal ini akan
merugikan," katanya, "sebab salah satu
pertimbangan hengkangnya investor ke luar negeri berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan
Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas
salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan
kerja di Indonesia
pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh
angkatan kerja usia sekolah
(15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33
juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja.di.Indonesia.kualitasnya.masih.rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun
2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta
orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada
disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya
masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan
kerja yang tersedia tersebut berstatus informal. Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan
pendidikan SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa
kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan
berpendidikan rendah.
Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan
yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga
kerja rendah.
E. Pengangguran
Mengakibatkan Kemiskinan
Tanggal 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti
kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah
simbol sosial yang nyaris absolut dan tak terpecahkan.
Sejak masa kolonial hingga saat ini,
predikat negeri miskin seakan
sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan kekayaan
alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan:
gempa bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran
hutan yang diikuti kabut asap. Kantung-kantung kemiskinan
di negeri ini kian hari kian menyebar bak virus ganas,
mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan, penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan.
Lepas
dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di negeri ini terus menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 17 persen dari populasi penduduk yang kini telah
mencapai angka 220 juta jiwa. Menurut data resmi Susenas
(BPS, 2006), jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10
juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75 persen).
Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006) juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari
2005 menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen) pada Februari
2006.
Padahal,
perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri ini. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana
dan cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik
digenjot di berbagai bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi
fokus perhatian, investasi asing digalakkan, berbagai
jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif
untuk menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan
tetapi, karena keberpihakan
ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang
terjadi, seluruh angka-angka keberhasilan pembangunan
yang digarap secara intens selama 30 tahun itu, rontok
tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998.
Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus
endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data
pemerintah menunjukkan, 70 persen rakyat kita
menggantungkan sumber penghidupannya dari sektor ekonomi
mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor pertanian,
petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan
perikanan, nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan
budi daya, perikanan tangkap, industri bioteknologi
kelautan, dan non-conventional ocean resources. Sementara
di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.
Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen
anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana
pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun parkir di
Bank Indonesia.
Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah
daerah), lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana “menganggur”
ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan
sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan.
Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara
yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium
Development Goals (MDGs), sebuah komitmen global yang
ikut ditandatangani pemerintah Indonesia
guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana
yang datang dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor
bilateral (baik dalam bentuk hibah maupun utang) yang
mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi angka
puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi patut
dipertanyakan.
Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan
mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti
globalisasi-neoliberal (sejak Seattle,
Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus
menyerukan ”Global Call to Action Against Poverty”.
Mereka dengan gamblang menunjukkan berbagai metode dan
aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian 2006,
yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi
intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi
kemiskinan di Bangladesh,
sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi
kita dalam melawan kemiskinan.
Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita
punya keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan?
Adakah komitmen tegas dari para penentu kebijakan negara
untuk memberantas KKN secara radikal? Jika negara tak
sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi
sebagai
perintah
konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah
disebut ”nation
van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini.
F. Dampak
Pengangguran Di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Asean
Presiden menyatakan, besarnya tingkat pengangguran di Indonesia
merupakan masalah ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di
kawasan ASEAN, karena itu Presiden mengajak ASEAN
menyimak lebih dekat kepada persoalan ketenagakerjaan.
"Pengangguran tak hanya menampilkan masalah ekonomi
tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional
dan akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan
antarbangsa-bangsa di kawasan ini," katanya saat
membuka pertemuan ke-17 Menteri Tenaga kerja ASEAN di Mataram,
NTB, Kamis (8/5). Pertemuan internasional pertama di Mataram sejak terjadinya tragedi bom Bali itu
diikuti seluruh negara ASEAN, yakni tujuh menteri tenaga
kerja, satu menteri negara, dan dua deputy menteri. Selain itu juga diikuti
tiga wakil menteri dari negara mitra dialog dari China, Jepang,
dan Korea Selatan termasuk dari perwakilan Organisasi
Buruh Internasional, serta dari Sekretariat Jenderal
ASEAN. Presiden menyebutkan pengangguran di Indonesia hingga
akhir tahun 2001 mencapai angka 8,1 persen. Bila itu yang menjadi tolok ukur, maka angka itu paling menyimpan kekhawatiran di kawasan ASEAN.
"Angka tersebut lebih tinggi bila dibanding dengan
realisasi pertumbuhan ekonomi serta kemampuan kami dalam
mengundang investasi," katanya. Dalam konteks ASEAN, meluasnya
situasi seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan dan sungguh memerlukan
kewaspadaan.
Dari sudut pandang tersebut Kepala Negara mengajak para menteri
tenaga kerja ASEAN untuk menyimak lebih dekat persoalan
ketenagakerjaan di kawasan ASEAN. Presiden memahami
pemulihan ekonomi yang besar peranannya dalam penciptaan
lapangan kerja akan sangat berkaitan dengan kebijakan di
banyak aspek, seperti fiskal, investasi, pembiayaan dan perbankan, hukum dan keamanan. Sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, kata
Megawati, para pendahulu ASEAN telah bekerja keras
membangun dasar-dasar kerjasama dan solidaritas
bangsa-bangsa di kawasan ini, dengan keyakinan bahwa hanya dengan stabilitas politik dan keamanan di kawasan masing- masing dapat
membangun kehidupan yang sejahtera dan maju.
Dengan perkembangan dan kemajuan yang dialami saat ini, bangsa-
bangsa dan negara ASEAN telah semakin berubah menjadi masyarakat
besar yang kian terbuka. Sekecil apa pun perkembangan
negatif yang terjadi di suatu negara akan menjalar dan
memberi pengaruh terhadap bangsa-bangsa lainnya di
kawasan. Presiden menggambarkan di Indonesia bahwa pemerintahannya
baru saja selesai memperbaiki pengaturan mengenai perlindungan
dan kesejahteraan tenaga kerja terutama soal pengupahan,
jaminan sosial, PHK ataupun mekanisme tripartit dan
lain-lainnya dalam rangka penyeimbangan antara hak dan kewajiban tenaga
kerja dan pemberi kerja.
Presiden juga memberikan gambaran tentang ragam dan tingkat kesulitan
yang harus diatasi hampir oleh setiap negara anggota ASEAN dalam
lima tahun
terakhir ini. Menurut Presiden, ada yang telah selesai
menormalisasi keadaan dan mulai bangkit lagi, ada yang
sudah pada tahap akhir pemulihan, tetapi ada juga yang
masih harus bergulat dengan banyak persoalan baik yang lama ataupun yang belakangan timbul sebagai dampak dari persoalan itu sendiri.
"Akhir-akhir ini jerih payah tadi malah mulai tampak
memudar atau malah tertimbun oleh kesulitan baru yang
bersumber dari ancaman terorisme ataupun wabah penyakit,”
kata Megawati. Pertemuan Menaker ke-17 tersebut akan berlangsung
hingga 9 Mei 2003.Indonesia sebelumnya pernah menjadi tuan rumah untuk pertemuan serupa yang pertama dan yang ketujuh. Sedangkan
pertemuan ke-16 tahun 2002 berlangsung di Laos, dan pertemuan ke
18 tahun 2004 direncanakan berlangsung di Brunei, tetapi
belum diputuskan.
Pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN mengingat kontribusi Indonesia
pada angka pengangguran di kawasan Asia Tenggara itu
sudah mencapai 60 persen.
Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) , Haryono Darudono, di Medan, Jumat, mengatakan,
tingginya pengangguran menunjukkan Indonesia tidak menarik bagi investor sebagai tempat investasi yang berakibat pada tidak berjalannya sektor riil
Menurut dia, tidak menariknya Indonesia
sebagai tempat investasi karena dipicu banyak hal mulai dari infrastruktur yang tidak memadai
hingga birokrasi perizinan.yang.masih.berbelit.
"Bagaimana investor baru mau masuk atau pengusaha mengembangkan investasinya
kalau listrik dan gas sulit didapat seperti saat ini," katanya di sela-
sela.rapat.tahunan.Apindo.Sumut.
Dia tidak merinci data pengangguran di Asean, tapi di Indonesia
disebutkan sekitar 40 jutaan bahkan lebih karena tahun ini
jumlahnya semakin bertambah menyusul banyaknya industri
yang melakukan PHK menyusul kesulitan.gas.dan.listrik.
"Pemerintah diharapkan melakukan tindakan nyata untuk mengtasi
angka pengangguran itu karena pengangguran itu berdampak luas seperti kepada tingginya.tingkatan.kriminilitas,"katanya.
Sekretaris Umum DPD Apindo Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengatakan
di Sumut, tahun ini PHK terjadi pada ribuan tenaga kerja
menyusul krisis listrik dan gas yang masih berlanjut.
PHK, katanya terbesar terjadi pada industri sarungtangan
karet dan keramik yang memang menggunakan atau memerlukan gas dalam volume yang besa
G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga
Kerja dan Mengurangi
Pengangguran
Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit
mencatat perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan
alam, yakni pertanian dan laut. Selepas lima
abad, muncullah Republik Indonesia
dengan mimpi besar membangun industri maju, tetapi
melupakan kemakmuran petani dan nelayan. Perbagai
peninggalan candi sebagai bukti kejayaan bangsa berikut reliefnya,
seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan kemakmuran
masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal Borobudur" yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa
lampau dengan lautan luas.
Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri
berbasis lokal, yakni pertanian dan kelautan, adalah jawaban
mutlak untuk menyerap tenaga kerja yang melimpah
sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional.
Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai
negara maju, sedangkan industri teknologi rendah (low
technology intensity) dikuasai China, Vietnam, dan
negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis, menghadapi
persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di
negeri ini, yakni sektor pertanian dan kelautan.
Selanjutnya barulah industri lainnya
berkembang, tetapi terkait atau
berangkat dari pengembangan kedua sektor tersebut.
Pengamat ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati sejarah masa silam tersebut, tentudeportasi massal ratusan ribu tenaga
kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi.
"Keberadaan TKI adalah ekses dari kegagalan
kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki basis industri intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di
sektor intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan
pesawat. Alhasil, semuanya gagal dan telanjur menciptakan
angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria dan
nelayan, tetapi tidak terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini
adalah korban kebijakan pembangunan yang kini dikenal sebagai
TKI," Faisal menjelaskan.
Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan industrialisasi, seperti terjadi
di China
pada dekade 1960-an akibat kebijakan lompatan jauh ke
depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah,
hingga teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri
"melompat" dari industri teknologi rendah ke
teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi.
Ketika itu, Malaysia
dan Thailand konsisten
mempelajari agrobisnis di Indonesia serta mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka. Saat sama, Indonesia
sempat mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya
lebih asyik membuat industri
pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh Jepang.
Hal serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder kebijakan industrialisasi oleh Park Chung-Hee dalam periode tersebut.
Menurut Faisal Basri, hanya industri baja saja yang dapat
dikatakan berhasil ketika itu.
Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat
kembali mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri
dengan kembali ke titik awal, yakni mengukuhkan sektor
pertanian- kelautan sebelummenapaki industri teknologi
menengah dan teknologi tinggi.
Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor
padat karya, menghasilkan devisa, dan mendorong industri
berbasis sumber daya alam (resource-based industry).
Kebijakan tersebut sangat berdasar karena sektor
pertanian dan perikanan serta budi daya laut bersifat padat karya (labour
intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan berkembang
menjadi raksasa ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap
tenaga kerja dan menghasilkan devisa untuk membayar utang
luar negeri, kemudian mengembangkan industri ke skala
intensitas menengah hingga teknologi tinggi.
Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea
Selatan meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi
massal dan usaha jenis tersebut melakukan relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar kondisi riil, daerah yang
sebetulnya potensial untuk industri adalah
Korea Utara, sedangkan wilayah
Korea Selatan
adalah sentra pertanian.
Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori
modernisasi berupa peralihan dari pertanian ke sektor industri
dan jasa, justru terjadi gerakan kembali ke desa akibat
menyusutnya lapangan kerja di perkotaan. Akan tetapi,
tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat rendahnya produktivitas
industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir sebagai buruh migran di negeri jiran.
Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit
membenarkan perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia
menekankan, industri manufaktur harus tetap mendapat
perhatian. Pasalnya, sektor industri yang masih tersisa
ini juga harus diselamatkan karena semakin terpuruk akibat persaingan dan terlebih lagi tekanan produk perundang-undangan
pemerintah di tingkat pusat serta daerah.
Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya
menggerakkan sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang
bersumber dari aturan-aturan mengenai perburuhan.
Pelbagai peraturan yang ada justru semakin memberatkan
dunia usaha. Padahal, pihak pengusaha tengah berusaha
mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal.
Peraturan yang justru semakin
memberatkan pengusaha dan buruh itu misalnya aturan
mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum Provinsi
(UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga
kerja informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh
Internasional (ILO) telah mencapai 68-70 persen dari
angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong
pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung menggunakan sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan kelangsungan kerja bagi buruh. Faisal Basri membenarkan pendapat
tersebut. Menurut dia, beratnya komponen pajak dan
peraturan ketenagakerjaan semakin menghambat sisa-sisa
industri manufaktur di Indonesia.
Sebagai contoh, untuk memecat tenaga kerja akan
memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi pengusaha.
Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha, misalnya
pajak yang harus ditanggung pabrik olahan mete jauh lebih besar dibandingkan eksportir mete mentah.
Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia
masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar,
kompetensi, dan harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi
oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga Kerja dan Analisa
Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut dengan mengupayakan
skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah
tersebut lebih efektif untuk mengatasi
persoalan labour regulation cost sehingga
dunia usaha
dapat diselamatkan.
Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap
angkatan kerja secara maksimal. Sasaran utamanya yakni menekan
penganggur hingga 5,1 persen dari total angkatan kerja
pada tahun 2009. Akan tetapi, Faisal Basri bersikap
pesimistis karena menilai pemerintah tidak serius dalam menangani
industri pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam Infrastructure Summit awal tahun ini. Pembahasan tentang infrastruktur yang dilakukan
ternyata tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor
pertanian dan kelautan. Yang menjadi perhatian adalah
pembangkit listrik, jalan tol, dan pelbagai proyek
mercusuar lain. Proyek yang diusulkan ternyata tidak kompatibel dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor pertanian dan
kelautan. Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek
dan pabrik besar tanpa menyentuh jejaring infrastruktur
pertanian serta kelautan.
Faisal Basri menambahkan, salah satu penyebab kebijakan yang tidak
menyentuh persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian
besar bukanlah negarawan. Mereka hanya memikirkan
kepentingan sesaat dengan menyetujui atau mendukung
proyek yang hasilnya dapat terlihat semasa jabatan mereka tanpa memikirkan kesinambungan sebuah kebijakan. Apalagi membangun
industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan
pekerjaan jangka panjang dalam dua atau tiga dasawarsa,
seperti dialami Thailand dan
Malaysia.
Padahal, jika para politisi
jeli, lahan untuk mencari dukungan suara terbesar ada di
sektor pertanian dan kelautan. Namun, ketidakpekaan para elite atas pembangunan dunia pertanian atau kelautan terlihat jelas dari pos
jabatan menteri di sektor pertanian, ketenagakerjaan
ataupun usaha kecil dan menengah yang tidak dipegang oleh
partai berkuasa. Posisi tersebut dianggap pos "kering" dibandingkan dengan, misalnya, jabatan menteri keuangan.
Sebagai contoh, semasa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hanya
pos menteri tenaga kerja yang diisi oleh kader Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Saat ini, tidak ada posisi menteri
dari tiga sektor tersebut yang
dijabat
oleh kader Partai Demokrat! Pengalaman sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tampaknya menjadi jawaban persoalan penyerapantenaga kerja
dan TKI. Bukankah istilah gemah ripah loh jinawi sempat
dialami waktu itu ketika pertanian dan laut menjadi
sumber hidup negeri ini.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan
lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya,
keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah
penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja,
dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan
dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran
H. Data Pengangguran di Indonesia
1. Angka
Pengangguran Terbuka di Indonesia
Salah satu jenis pengangguran yang bisa diukur dengan data Sakernas
adalah pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Kali ini Penulis ingin
mencoba membuat analisa sederhana dengan data terbaru yaitu Sakernas 2006 (Februari). Pengangguran terbuka artinya orang yang tidak bekerja
dan sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha,
sudah punya pekerjaan tapi belum dimulai, dan orang yang
merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan. Dalam analisa
ini juga akan disinggung tentang gender, umur dan wilayah
(kota/desa).
2. Angka Pengangguran Menurut Umur
Pengangguran di Indonesia sudah mencapai 11 juta (usia 15 tahun
keatas) dan 8.5 juta-nya penduduk usia 15-29 tahun. Seperti pada
Histogram 1 di atas, menunjukan angka pengangguran
terbuka (%) menurut umur (15 tahun ke atas, 15-29 tahun
dan 30-49 tahun). Terlihat jelas bahwa pengangguran terbuka
banyak terjadi di usia remaja 15 sampai 29 tahun (23%). Di usia tersebut banyak sekali lulusan sekolah yang ingin mendapatkan pekerjaan,
dari yang baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi
termasuk yang tidak sekolah. Sangat masuk akal jika hal
ini terjadi. Sedangkan untuk usia 30-49 tahun, jumlah
penganggurannya tidak terlalu tinggi (hanya4%). Angka pengangguran terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun ke atas sekitar10.4%. Jika kita lihat,
ternyata kaum perempuan-lah yang banyak sebagai penganggur terbuka, sekitar27.6%
(usia 15-29 th) atau13.7% (usia di
atas 15 tahun). Hal-hal yang menyebabkan fenomena ini
antara lain masih adanya diskriminasi gender, jenis
pekerjaan yang tersedia kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut masih
perlu dianalisa lebih lanjut.
3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan
atau Pedesaan
Kita semua sudah tahu bahwa sebagian besar pekerjaan tersedia lebih
banyak di perkotaan di pedesaan, sekaligus pekerjaan di
perkotaan menjajikan lebih banyak pendapatan. Inilah yang
menyebabkan pencari kerja berbondong-bondong ke perkotaan yang berakibat
angka pengangguran terbuka di kota
lebih besar (13.3%) dibandingkan pedesaan (8.4%).
Histogram 2 menunjukan analisa di atas, selain itu
yang menarik lagi perempuan penganggur usia 15 tahun
lebih di pedesaan hampir sama dengan penganggur laki-laki
di kota (waluapun nilainya lebih sedikit
dibanding perempuan penganggur di kota). Ini yang mungkin patut dicermati oleh
pemerintah yang ingin mengurangi pengangguran. Penciptaan
lapangan pekerjaan tidak hanya dilakukan di perkotaan,
pedesaan-pun butuh kegiatan- kegiatan yang mendatangkan
pendapatan. Terutama lapangan pekerjaan yang bisa memperdayakan
perempuan yang ingin bekerja dan penghapusan deskriminasi gender di bidang pekerjaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesmipulan
Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatnkan,
banyak sekali terdapat pengangguran di mana-mana. Penyebab pengangguran di ndonesia
ialah terdapat pada masalah sumber daya manusia itu sendiri dan tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan. Indonesia menempati urutan ke 133
dalam hal tingkat pengangguran di dunia, semakin rendah
peringkatnya maka semakin banyak pulah jumlah
pengangguran yang terdapat di Negara tersebut. Untuk
mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu program untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan
dari pemerintah sebaiknya kita secara pribadi juga harus
berusaha memperbaiki
kualitas sumber daya kita agar tidak menjadi
seornag pengangguran dan
menjadi beban
pemerintah.
B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open
unemployed) dan 31 juta setengah
penggangur (underemployed)
bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia
dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta penganggur terbuka
berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan
gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran
juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang
harus mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi
listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi mereka
tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.
Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang
dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan jika tidak
memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan
dan bagaimanapun kondisi Indonesia
saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan
berbagai upaya. Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran
itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan
teori disiplin ilmu
terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu
maupun muara.Sebagai solusi pengangguran, berbagai
strategi dan kebijakan dapat
ditempuh
sebagai berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai
Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua
masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan
penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro
(khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan
pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti
moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi
dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral),
fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat- rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang
terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam
keputusannya dan pelaksanaannya.
Selalin itu, ada juga
kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan
dalam beberapa poin.Perta ma,
pengembanganmindset dan wawasan penganggur,
berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya
memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap
pribadi
sanggup mengaktualisasikan
potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang
lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi
yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyaimindset yang benar. Itu merupakan tuntutan
utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang
sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari
sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara
nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan
bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat diimplementasikan
menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga
pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya
yang
tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para
penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan
berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin
kehidupan
penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian
Badan Jaminan
Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi
Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai
devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu,
setiap penganggur di Indonesia
akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun
dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu
banyak
jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu
segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang
pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja
baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan
masalah
di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan
organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik
yang dapat didaur ulang.
Sampah sebagai bahan baku
pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan
kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah
tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan
kerja
Keenam, mengembangkan suatu
lembaga antarkerja secara profesional.
Lembaga
itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara
profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan
para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah
lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke
luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI
ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga
terampil (skilled). Hal itu dapat
dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan,
keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan
Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke
luar negeri (BUMD- PJTKI). Tentunya badan itu
diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training
Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat
banyak peluang
di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri
tentang
pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan,
segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem
pendidikan
nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat
menentukan kualitas pendidikan. Karena itu,
Sisdiknas perlu reorientasi supaya
dapat mencapai
tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial
(PHI)
dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas,
penurunan permintaan produksi industri tertentu dan
seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu
menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu
perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan
berbagai kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara
Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat
potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu
dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan
kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan
lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya,
keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah
penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja,
dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi)
kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara
optimal untuk memerangi pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.andisite.com, 2007
http://www.datastatistik-indonesia.com, 2007
http://www.dephan.go.id, 2007
http://www.google.co.id, 2007
http://id.wikipedia.co.id, 2007
http://www.instruments.worldpress.com, 2007
http://www.suarapembaruan.com, 2007
http://www.tempointeraktif.com, 2007
http://www.datastatistik-indonesia.com, 2007
http://www.dephan.go.id, 2007
http://www.google.co.id, 2007
http://id.wikipedia.co.id, 2007
http://www.instruments.worldpress.com, 2007
http://www.suarapembaruan.com, 2007
http://www.tempointeraktif.com, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda disini