OLeh : Agus Uropka
Mahasiswa Pada saat ini merupakan
harapan terbesar bagi masyarakat daerah maupun Negara sebagai penyambung lidah
rakyat terutama sebagai perubahan di masyarakat (Agen social of cahange). Sebagai
salah satu potensi, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan
masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena
sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi
perubahan ke arah yang berkeadaban. Keterlibatan mahasiswa dalam setiap
perubahan tatanan kenegaraan selama ini sudah menjadi jargon dan pilar utama
terjaminnya sebuah tatanan kenegaraan yang demokratis. Romantisme politis
antara mahasiswa dengan rakyat terlihat sebagai fungsinya sebagai social
control termasuk terhadap kebijakan menindas. Kebiasahan Mahasiswa, dalam hal
ini sudah menunjukkan diri sebagai salah satu potensi yang dapat diandalkan
dalam upaya menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dan distribusinya baik
secara kualitas maupun kuantitas dalam segala aspek kehidupan sosial sudah
semestinya diperhitungkan. Bentuk keberhasilan dalam mewujudkan sebuah tatanan
masyarakat berkeadaban di daerah adalah dengan semakin kecilnya angka
kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, peningkatan taraf ekonomi dan
pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, itu semua hanya akan menjadi mimpi
belakang manakala semua konsep-konsep yang dibangun dan berbasis kerakyatan
tersebut tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan jatu ke arah tujuan
tersebut. Dan maksimalisasi fungsi mahasiswa dan kaum muda dalam tiap laju
demokratisasi merupakan salah satu pilar utama yang perlu diperhatikan. Sekali
lagi, peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sosial ditunggu.
Diharapkan mahasiswa mampu memainkan peran yang strategis. Kesatuan visi,
tekad, dan perjuangan untuk kepentingan masyarakat secara luas, menjadi pondasi
utama peran tersebut saat ini atau nanti. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut,
sekali lagi, perlu pemetaan, perumusan, dan penelaahan metode penerapan fungsi
mahasiswa dalam kancah epistemologi keumatan tersebut.
Berikut adalah asil wawancara saya
dari salah satu Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Bapak Dr. C. Teguh
Dalyono, M.S. ketika saya menemuinya dan bertanya tentang Apa Peran Mahasiswa
Dalam Organisasi Dan Pendidikan? Beliyau mengatakan bahwa banyak Mahasiswa yang
aktif ber-organisasi secara konsisten semata-mata memiliki pemahaman bahwa
organisasi merupakan sebuah budaya sarana yang efektif dalam meng-kader dirinya
sendiri untuk ke depan. Sebagian di antaranya masih mempunyai keyakinan
pandangan bahwa organisasi merupakan tempat menimba ilmu yang tidak terbatas
hanya pada pelajaran. Dengan bergabung aktif dalam organisasi yang bersifat
kelompok ataupun individu akan berefek kepada perubahan yang signifikan
terhadap wawasan, cara berpikir, pengetahuan dan ilmu-ilmu sosialisasi,
kepemimpinan serta menajemen kepemimpinan yang notabene tidak diajarkan dalam
kurikulum normatif Perguruan Tinggi. Namun, dalam ber-organisasilah dapat
diraih dengan memanfaatkan statusnya sebagai kebiasaan mahasiswa. Pemahaman
arti penting sebuah organisasi dan aktivitas organisasi mahasiswa adalah salah
satu persoalan yang pertama-tama harus diluruskan. Adanya anggapan bahwa
ber-organisasi berarti berdemonstrasi, atau ber-organisasi khusunya di luar
kampus tidak lebih dari sekadar membuang sebagian waktu, energi, ajang mencari
kawan atau mencari jodoh merupakan bukti adanya kesalapahaman tentang presepsi
sebagian mahasiswa tentang organisasinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka
organsiasi dituntut untuk terus meningkatan kualiatas dirinya. Dan peningkatan
pelayanan terhadap masyarakat mahasiswa. Sebagai miniatur pemerintahan negara
dalam penyelenggaraan negara yang semestinya dilakukan oleh aparatur negara.
Maka, organisasi harus meng-adopsi prinsip-prinsip pemerintahan layaknya dalam
sebuah negara dan dikolaborasikan dengan prinsip sebagai organisasi pengkaderan
dan perjuangan. Dengan demikian, satu media yang dapat membentuk kematangan
mahasiswa dalam hidup bermasyarakat ialah organisasi. Dengan senantiasa
ber-organisasi maka mahasiswa akan senantiasa terus berinteraksi dan
beraktualisasi, sehingga menjadi pribadi yang kreatif serta dinamis dan lebih
bijaksana dalam persoalan yang kita hadapi. Ujar Bapak C. Teguh Sambil terseyum
di depan ruangan II/K 45 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Berikut adalah asil wawancara saya
dari salah satu mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sdr. Mahiswara
ketika saya menemuinya di kampus USD. Bebincang tentang Apa si Peran Mahasiswa
Dalam Organisasi Dan Pendidikan? Tetapi Beliyau lebih khusus berbincang tentang
peran mahasiwa dalam pendidikan? Beliyau mengatakan bahwa:
PENDIDIKAN adalah hal yang tidak
dapat dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang
dianugrahi akal dan pikiran. Proses pendidikan berjalan sejak dalam kandungan
sampai keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana
saja dan kapan saja. Proses Budaya pendidikan yang paling efektif adalah
melalui pendidikan formal non formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata
pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan
tertentu. Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan
Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang
keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika Budaya perguruan Tinggi
menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia
itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi. Dengan menyandang
peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus
menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam
kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan
selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan
alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal
dengan istilah Budaya Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa dan kampus adalah
entitas yang tidak dapat dipisahkan dari dunia Pergurna Tinggi. Kampus adalah
dunia yang sangat dekat dengan mahasiswa, dimana tidak hanya dihuni oleh
mahasiswa, tapi juga dosen, petugas kebersihan, satpam, pegawai administrasi,
serta para biokrat yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab
itu, diperlukannya kesejateraan dengan tunjangan sistem baik pendidikan maupun
administrasi. Namun hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Dimana kecendrungan
Budaya sistem dan kurikulum pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai jati
diri bangsa. Kenyataan saat ini lebih menunjukan pada gerak industrialisasi
dengan semakin berkembangnya sistem kapitalis. Dibandingkan dengan pemberdayaan
sumber daya alam, agraris dan maritim. Ironisnya lagi tidak ditemukan adanya
singkronisasi. Padahal, ilmu pengetahuan bukan hanya mempertahankan kebenaran
objektif semata, tapi juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai sosial,
ekonomi, budaya dan agama yang representatif dalam masyarakat bangsa ini. Hal
ini menyebabkan, pendidikan yang seharusnya menjadi komunitas ilmiah justru
berbalik menjadi sebuah lembaga yang jauh dari agenda kerakyatan. Sistem yang
berlaku di Perguruan Tinggi saat ini tidak lebih dari layaknya sebuah pabrik,
sebagai produsen bagi tenaga kerja. Pendidikan yang seharusnya menjadi
tranformasi nilai-nilai moral yang humanis-religius malah mentaransformasikan
nilai-nilai mesin yang mekanistis, sehingga menjadikan manusia yang oportuni,
berpikir jangka pendek, dan materelistis. Sejauh pengalaman yang pernah ada,
Perguraun Tinggi (baik negeri maupun swasta) masih dominan berdiri di alam lain
yang justuru kontra produktif dengan kepentingan rakyak. Kenyataan seperti
senada dengan kritikan Ivan Illick dan Paulo Freire terhadap dunia pendidikan
di negara berkembang yang justuru tidak menghasilkan apa-apa. Perguruan Tinggi
belum menemukan urgensi-nya dalam menyediakan produk unggulan dalam negeri,
yaitu mahasiswa. Melihat permasalahan yang ada maka langkah-langkah yang
efektif dan konferhensif dengan didukung oleh seluruh civitas akademik. Perlu
adanya perubahan paradigma secara struktural maupun kultural tentang esensi
pendidikan. Institusi perguraun tinggi harus sadar betul bahwa peningkatan
sarana dan prasarana sangatlah penting bagi tercapainya tujuan pendidikan,
serta semaksimal mungkin pada usahanya menyelenggarakan proses belajar
mengajarkan. Tentunya orientasi studinya terfokus pada pamahaman dan
pengembangan ilmiah. Pada umumnya Perguraun Tinggi swasta lebih cendrung
meningkatkan kualitasnya pada bidang penyelenggaraan pendidikan dalam meraih
kepercayaan pada masyarakat akan keberhasilan program-program pendidikan.
Penguasaan kondisi lingkungan dalam proses belajar mengajar akan menajdi
motivator pada tinggkat lingkungan pendidikan. Dan kuatnya motivator perguaran
tinggi akan menjadi katalisator budaya mayarakat diwilayahnya. Hanya terkadang
ada beberapa Perguran Tinggi yang mengabaikan, terutama kampus-kampus
non-favorit. Sarana dan prasarana infratruktur tidak dikelola dengan baik,
tentunya dengan beragam faktor yang mempengaruhinya. Terutama disebabkan
rendahnya biaya pendidikan dan jumlah mahasiswa. Hal ini akan semakin parah
jika pemegang kebijakan institusi Pendidikan Tinggi tersebut lebih berorienrasi
materialistik jangka pendek. Akibatnya kondisi pendidikan dibiarkan. Penguasaan
dan pemanfaatan teknologi dalam lingkup perguran Tinggi adalah hal yang tidak
kalah penting. Selama ini kita meyakini bahwa penguasaan teknologi merupakan
jawaban dari ketertinggalan yang dialami bangsa ini terhadap bangsa lain.
Pemanfaatan teknologi komputerisasi di Perguran Tinggi akan memungkinkan
keteraturan administrasi sekaligus dapat mengontrol manajemen pendidikan dengan
mudah. Dengan pengusaan teknologi diharapkan mahasiswa dapat memperoleh
kemudahan administratif dan dalam mengakses ilmu pengetahuan sehingga proses
pencerdasan dapat berjalan secara cepat. Pendidikan berbasis teknologi nampak
seperti satu-satunya jawaban yang dibutuhkan. Jika itu dapat terlaksana maka
institusi Pendidikan Tinggi harus menghargai sisi profesionalisme pendidik.
Artinya, bahwa kesejahteraan pendidik dan karyawan adalah akan kretivitas,
mobilitas serta yang perubahan secara fundamental yang akan terus maju ke depan
dan tidak lagi resah akan dapurnya. Dan pasrah pada “ritualitas pembodohan”
yang dia tahu, namun tidak dapat berkutik dirinya. Inilah yang harus terngiang
ditelinga “founding education”, sehingga survive tidak ada lagi di kepala dan
dada, namun semangat dan peluang-peluang penyadaran akan bangsa ini tertelak di
dalam forum yang disebut dengan pendidian harus dapat diterjemahkan secara
holistik dan revesioner. Sebab jika hal ini dibiarkan akan sangat rentan
terhadap godaan-godaan duniawi yang sama artinya memberi ruang bagi untuk
tumbuh subur dalam institusi Pendidikan.
Pembaca yang Budiman: Semuga dengan
membaca tulisan ini bias mengingatkan kaita untuk terus berjuang membangun
KOMAPO dengan nilai kepemimpinan rasa tanggung jawab kita bersama …. Kalau
Bukan kita siapa lagi…………………...??
KERJA
Kerja Adalah Wujud nyata Cinta Bila
Kita Tidak Dapat Bekerja Dengan Kecintaan, Tapi Hanya Dengan Kebencian, Lebih
Baik Tinggalkan Pekerjaan Itu. Lalu, Duduklah Di Gerbang Rumah Ibadat Dan
Terimalah Dari Mereka Yang Bekerja Dengan Penuh Suka Cita…………………….??
Penulis adalah : Mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Fakultas : Fakultas Keguruan &
Ilmu Pendidikan (FKIP)
Jurusan : Pendidikan Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda disini