Jumat, 29 November 2013

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA




Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

Legislatif
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Provinsi Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
Eksekutif
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
  • orang asli Papua;
  • setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
  • tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
  • tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
MRP

 

 

 

 

 

Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

Pendidikan berkualitas menjadi faktor penting dalam membangun. Pemerintah telah mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20 persen. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah telah diatur dengan PP 38 tahun 2007. Namun saat ini, Pendidikan di daerah perbatasan masih belum layak yang ditandai dengan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak khususnya pemerintah dalam membangun pendidikan di daerah perbatasan . Oleh karena itu, pembagian peran dan kewenangan yang jelas antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota dalam pendidikan perbatasan menjadi sangat penting.
Pendahuluan
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya.  Semakin berkualitas SDM maka  semakin maju dan sejahtera negara tesebut, sebagai contoh Jepang, Singapura dan Malaysia, dan lainnya. Sedangkan, kualitas SDM ditentukan dengan kualitas pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang berkualitas menjadi faktor penting bagi kemajuan suatu negara. Semakin berkualitas pendidikan maka semakin maju negara dan sebaliknya. Kesadaran tersebut sepertinya telah menggugah nurani penyelengara negara kita untuk mengamanatkan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mulai tahun 2008 dialokasikan pada bidang pendidikan. Tentunya hal tersebut menjadi bukti keseriusan dan perhatian yang sangat serius dari negara terhadap pendidikan.
Alokasi 20 persen tersebut merupakan anggaran untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari perkotaan sampai pedesaan, dari pusat sampai perbatasan sebagai ujung negara. Sehingga, setiap masyarakat idealnya memiliki akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Hal ini tentunya terlepas dari letak wilayah atau daerah masyarakat tersebut tinggal. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas serta penyebaran penduduk yang tidak merata. Penyebaran tersebut lebih terkonsentrasi di pulau jawa, kota-kota besar provinsi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sedangkan lainnya terpencar di daerah terpencil dan perbatasan negara.
Dalam tulisan ini, penulis tertarik mengangkat dan membahas penyelenggaraan pelayanan urusan pendidikan di daerah perbatasan. Beberapa alasan penting menurut penulis untuk mengangkat hal ini antara lain pertama Sebagian besar masyarakat perbatasan merupakan  masyarakat dalam katagori miskin kedua Masyarakat perbatasan sulit dalam mendapatkan akses pendidikan yang layak ketiga Tingkat kelulusan Ujian Nasional masih rendah keempat Masih tingginya tingkat buta huruf masyarakat perbatasan.  Sebagai contoh kasus ratusan bahkan ribuan Anak usia sekolah di wilayah perbatasan kabupaten Nunukan, Kalimantan timur tidak bisa mendapat pendidikan layak. Mereka terpaksa memilih putus sekolah lantaran terbentur sarana dan prasana pendidikan.[2] Selanjuntya, Angka buta huruf di Nusa Tenggara Timur sekarang ini masih cukup tinggi. Sampai akhir September 2006 tercatat 370.710 warga yang buta huruf  serta  hampir 80 persen berada di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau. Berbagai kasus tersebut tentunya harus menjadi perhatian semua penyelenggara urusan pemerintahan bidang pendidikan untuk mewujudkan pendidikan berkualitas di daerah perbatasan.
Selanjuntya yang menjadi pertanyaan besar adalah siapa yang memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam meningkatkan kualias pendidikan di daerah perbatasan ? Tentunya pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya yakni  bagaimana pembagian peran tersebut ? Kenapa hal tersebut menjadi sangat penting ? karena dengan pembagian yang proposional akan menciptakan penyelenggaraan urusan pendidikan yang efektif dan efisien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda disini