Jumat, 29 November 2013

PENGELOLAAN PENDIDIKAN DASAR DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PENDIDIKAN






Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa demi mewujudkan adil dan makmur, maka dilakukan berbagai hal yang tentunya mendukung tercapainnya adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia adalah tidak segampang wacana dan kertas, namun dilakukan gerakan aksi nyata di lapangan dan tentunya disamaratakan seluruh nusantra tanpa tendensi-tendensi politis, tendensi budaya popular, hegemoni budaya, politik dan lainnya. Sekedar verbalisme tanpa aktivisme adalah sebuah hal yang sia-sia. Sehingga diwujudnyatakan dalam tindakan.
Adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, kini tinggal kenangan. Keadilan di negeri ini sudah tidak ada lagi. Keadilan hanya bagi penguasa pemerintahaan dan para korporat. Sedangan bagi rakyat adalah tinggal kenangan. Mereka (rakyat) hanya menjadi budak para korporat dan penguasa Negara. Hukum hanya milik mereka penguasa, hanya untuk para pejabat Negara. Sedangkan keadilan hukum bagi rakyat kecil, kaum miskin dan tertindas hanyala ucapan jempol belaka.
Makmur, hanyala sebuah kata yang diucapkan oleh para politikus dan penguasa pada saat kampanye. Verbalisme dan aktifisme (realisasi atas verbalisme) adalah dua kata yang kontradiksi. Manusia sebagai subjek atas kedua kata tersebut menjadi bimbang dan hanya kenangan gula-gula politik para penguasa.
Adil dan makmur di negeri ini mati suri. Rakyat menjadi budak para kapitalis, oportunis sampai pada politik dinasti yang menyebabkan negeri ini porak porandakan semua dimensi kehidupan, sehingga tidak terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat menjadi korban. Korban hegemoni budaya, ekonomi, sosial-politik. Budaya luar menjadi tren di Indonesia, sedangkan budaya lokal ditindas dan tidak digunakan oleh rakyat, sehingga Negara tetangga, Malaysia dengan seenaknya mengambil budaya Indonesia untuk menjadikan sebagai budayannya. Hal ini merupakan salah satu kasus hegemoni budaya dan hilangnya kebudayaan masyarakat setempat.
Impelementasi pengelolaan pendidikan dasar di Indonesia, menemui berbagai kendala teknis di lembaga pemerintahaan sampai pada pelaksanaan di lapangan, sehingga berdampak pada ketidakonsistenan pelaksanaan pendidikan dasar. Hal tersebut seperti Bank Dunia melaporkan berikut ini.
Pertama, institusi-instiusi pemerintahaan yang mengelola pendidikan dasar sanggat rumit dan kurang terorganisasi, yaitu Depdiknas, Depdakri dan Depag. Depdiknas bertanggungjawab atas materi pendidikan dan mutu teknis pendidikan seperti kurikulum, sertifikasi dan kualifikasi guru, ujian siswa, penilaian buku teks dan kelayakan bahan ajaran.
Sedangkan Depdagri bertangungjawab tentang ketenagaan, pengadaan saran/ para sarana dan sumber daya pendidikan lainnya, termasuk rekrutmen tenaga guru, pembangunan gedung sekolah, dan segala aspek fisik sekolah. Kemudian Depag bertangungjawab atas sekolah-sekolah keagamaan baik berstatus negeri maupun swasta.
Kedua, berbeda dengan jenjang SD pengelolaan SMP sepenuhnya dilakukan oleh depdiknas, sehingga tidak terjadi tangungjawab ganda di mata pihak sekolah. Namun kebijakan pendidikan pada jenjang SMP sangat sentralistik sementara invansi vetikal di daerah hanya melaksanakan tugas petunjuk pusat. Menyangkut pembiayaan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat. Pada hal, idealnya, pemerintah daerah sepenuhnya membelanjakan.
Ketiga, anggaran pendidikan dikelola secara kaku dan terkotak-kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang menangganinya. Anggaran rutin (DIK) untuk pendidikan disiapkan oleh tiga instansi, Depkeu, Depdiknas, dan Depdagri. Sementra itu, banyak instansi pemerintahan yang dikelola diantaranya Depkeu, Bappenas, depdiknas, depdagri, dan depag dan di pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
Keempat, manajemen pada tingkat sekolah yang tidak efektif. Ketidakefektifan di tingkat sekolah memicu ketidakonsistenan dalam pelaksanaan dan pengelolaan dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pelaksanaan pendidikan dasar di seluruh Indonesia.
Secara rinci bank dunia melaporkan bahwa pendidikan nasional di Indonesia komplesk dan sentralistik, serta tidak efisiennya pengelolaan tingkat sekolah yang terutama disebabkan oleh keterbatasan otonomi dan kemampuan manajerial/ kepemimpinan kepala sekolah, merupakan kendala utama wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia.
Dengan demikian, atas dasar itu, laporan bank dunia, pemerintah Indonesia melakukan efaluasi besar-besaran. Dari hasil efaluasi tersebut kemudian hasilnya merekomendasikan kepada pemerintah untuk ditetapkan. Hasil kerja (pokja) kemudian menetapkan dengan konsep pendidikan desentralisasi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan dasar. Pendidikan dasar adalah mencakup sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahaan kepada daerah sehingga wewenang dan tangungjawab sepenuhnya menjadi tangungjawab daerah, termasuk didalamnya penentuan kebijakan prencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya.
Ranis (1994) pemerintah pusat menyerakhkan kekuasaan kepada pengambil keputusan di tingkat daerah.
Dengan demikian, desentralisasi merupakan suatu proses dimana semua kewenangan, kebijakan, tugas, proses, implementasinya diberikan dari lembaga pemerintahan dan maupun non lembaga pemerintahan yang lebih tinggi (lembaga penguasaan yang lebih berkuasa) memberikan hak penuh kepada lembaga pemerintahan dan atau non pemerintahan yang lebih rendah untuk selanjutnya dapat menjalankan sesuai dengan tupoksi masing-masing lembaga baik lembaga adat, lembaga pemerintah, lembaga agama.
Secara umum tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campurtangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan penegrtian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan social ekonomi, (3) menyusun perbaikan perbaikan social ekonomi pada tingkat lokal yang lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional.
Dalam rangka implementasi pendidikan dasar, pemerintah menetapkan berbagai regulasi. Regulasi tersebut menjadi landasan hukum, sehingga dalam pelaksanannya tidak terjadi hambatan. Dan tentunya, mendorong terwujudnya harapan bangsa dan Negara.
UU No. 5 tahun 1974
Urusan SDM dan keuangannya diatur oleh Daerah, sedangkan urusan-urusan pemerintah umum tidak diperbolehkan seperti ketentraman dan ketertiban, politik, koordiansi, pengawasan dan lainnya.
Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1995
Mengatur tentang sebagian urusan pemerintah diserahkan kepada 26 Dati II percontohan. Urusan-urusan yang diberikan diantarnya pertanian, peternakan, perikanan darat, perkebunan transmigrasi dan pembinaan perambah hutan, sosaol, koperasi, dan lainnya.
Peraturan pemerintah No. 65 tahun 1951.
Melalui PP No. 65 Tahun 1951 sebagian urusan pemerintah pusat di lapangan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan diserahkan kepada provinsi. Provinsi yang dimaksud hanya meliputi 7 provinsi, yaitu Jawa Timur, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara. Selain itu, provinsi lain urusan pendidikan dan kebudayaan masih dilaksanakan oleh Pusat.
Selanjutnya PP No. 65 Tahun 1951 diberlakukan untuk seluruh provinsi di Indonesia melalui daerah.
PP No. 28 Tahun 1990
Dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, sistem pendiidkan perluh untuk di tata dan dikembangkan dengan baik. 1989 ditetapkan UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Penjabaran UU ini dituangkan dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar.
Kepmendikbud No. 0128/o/1995
Mengatur tentang organisasi dan tata kerja kantor inpeksi depdikbud kabupaten dati II percontohan. Tujuan: mengantisipasi kesenjangan yg mungkin terjadi dalm pengalihan tugas-tugas, seperti pembinaan sekolah dasar.
Sudah sangat jelas pelaksanan pendidikan dasar di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah pusat sepenuhnya telah menyerahkan kewenangan kepada daerah didukung dengan produk hukum yang jelas pula. Regulasi tersebut sangat membantu bagi penyelenggara pendidikan dasar di daerah. Saya rasa pemerintah daerah tidak ragu untuk dilakukan, namun pemerintah daerah (pejabat terkait) terjadi berhanggapan bahwa masi dikendalikan oleh pemerintah pusat dan bertentangan dengan perundang-undangan yang lain.
Bagaimana dengan Papua?
Semangat UU otonomi khusus bagi provinsi Papua dan provinsi Papua Barat dan berbagai regulasi yang disebutkan di atas saya rasa amat sangat jelas bahwa pelaksanaan pendidikan dasar di Papua sangat tidak bertentangan. Seerti disebutkan dalam UU Otsus tentang pendidikan dan kebudayaan yang tertera pada pasal 56.57,58 dengan jelas dan tegas mengatakan demikian. Tergantung bagaiman pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten membuat Perdasi dan perdasus untuk implementasi regulasi ini.
Dalam rangka implementasi regulasi yang dibuat oleh pemerintah indonsia (pemerintah pusat), pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota membuat peraturan pemerintah (PP) atau perdasi dan perdasus untuk dapat dilaksakan agar dirasakan oleh seluruh rakyat Papua. hal ini sangat penting karena selama ini regulasi yang dibuat hanya sebatas wacana dalam kertas, sedangkan diimplementasikan di lapangan belum nampak. Akibat dari belum adanya implementasi regulasi tersebut, masyarakat secara umum melakukan hal-hal yang bertentangan dengan produk UU yang ada.
Para pemangku kepentingan di daerah perluh ada pemahaman khusus tentang bagaimana menterjemahkan regulasi yang ada, demi menunjang program yang sudah di prioritaskan. Bahasa daerah misalnya, suda jelas diatur dalam UU Otsus, pada pasal 58, poin 3 menjelaskan demikian. Bahwa Bahasa daerah menjadi bahasa pengantar di sekolah dasar. Sekolah dasar maksud di sini adalah SD, SMP dan sederajat.
Pengelolaan pendidikan dasar di Papua saya rasa belum sepenuhnya dilaksanakan. Dinas terkait masih pontang panting, miaslnya di Kabupaten Pegunungan Bintang belum ada regulasi yang jelas menyangkut mendukung pengelolaan pendidikan dasar. Saya rasa dinas terkait libatkan para akademisi dan para pemangku kepentingan untuk menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan pendidikan dasar agar bias terwujd. Misalnya bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Badan ini menyususn buku tentang pelajaran bahasa daerah, kurikulum dan lannya. Pemerintah dan legislative terlibat secara langsung menyusun pedoman pembelajaran ini. Sehingga seluruh masyarakat di Pg.Bintang merasakan kebijakan pemerintah tentang bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran di jenjang pendidikan dasar. Semoga!


.

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA




Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

Legislatif
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Provinsi Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
Eksekutif
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
  • orang asli Papua;
  • setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
  • tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
  • tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
MRP

 

 

 

 

 

Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

Pendidikan berkualitas menjadi faktor penting dalam membangun. Pemerintah telah mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20 persen. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah telah diatur dengan PP 38 tahun 2007. Namun saat ini, Pendidikan di daerah perbatasan masih belum layak yang ditandai dengan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak khususnya pemerintah dalam membangun pendidikan di daerah perbatasan . Oleh karena itu, pembagian peran dan kewenangan yang jelas antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota dalam pendidikan perbatasan menjadi sangat penting.
Pendahuluan
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya.  Semakin berkualitas SDM maka  semakin maju dan sejahtera negara tesebut, sebagai contoh Jepang, Singapura dan Malaysia, dan lainnya. Sedangkan, kualitas SDM ditentukan dengan kualitas pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang berkualitas menjadi faktor penting bagi kemajuan suatu negara. Semakin berkualitas pendidikan maka semakin maju negara dan sebaliknya. Kesadaran tersebut sepertinya telah menggugah nurani penyelengara negara kita untuk mengamanatkan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mulai tahun 2008 dialokasikan pada bidang pendidikan. Tentunya hal tersebut menjadi bukti keseriusan dan perhatian yang sangat serius dari negara terhadap pendidikan.
Alokasi 20 persen tersebut merupakan anggaran untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari perkotaan sampai pedesaan, dari pusat sampai perbatasan sebagai ujung negara. Sehingga, setiap masyarakat idealnya memiliki akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas. Hal ini tentunya terlepas dari letak wilayah atau daerah masyarakat tersebut tinggal. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas serta penyebaran penduduk yang tidak merata. Penyebaran tersebut lebih terkonsentrasi di pulau jawa, kota-kota besar provinsi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sedangkan lainnya terpencar di daerah terpencil dan perbatasan negara.
Dalam tulisan ini, penulis tertarik mengangkat dan membahas penyelenggaraan pelayanan urusan pendidikan di daerah perbatasan. Beberapa alasan penting menurut penulis untuk mengangkat hal ini antara lain pertama Sebagian besar masyarakat perbatasan merupakan  masyarakat dalam katagori miskin kedua Masyarakat perbatasan sulit dalam mendapatkan akses pendidikan yang layak ketiga Tingkat kelulusan Ujian Nasional masih rendah keempat Masih tingginya tingkat buta huruf masyarakat perbatasan.  Sebagai contoh kasus ratusan bahkan ribuan Anak usia sekolah di wilayah perbatasan kabupaten Nunukan, Kalimantan timur tidak bisa mendapat pendidikan layak. Mereka terpaksa memilih putus sekolah lantaran terbentur sarana dan prasana pendidikan.[2] Selanjuntya, Angka buta huruf di Nusa Tenggara Timur sekarang ini masih cukup tinggi. Sampai akhir September 2006 tercatat 370.710 warga yang buta huruf  serta  hampir 80 persen berada di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau. Berbagai kasus tersebut tentunya harus menjadi perhatian semua penyelenggara urusan pemerintahan bidang pendidikan untuk mewujudkan pendidikan berkualitas di daerah perbatasan.
Selanjuntya yang menjadi pertanyaan besar adalah siapa yang memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam meningkatkan kualias pendidikan di daerah perbatasan ? Tentunya pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya yakni  bagaimana pembagian peran tersebut ? Kenapa hal tersebut menjadi sangat penting ? karena dengan pembagian yang proposional akan menciptakan penyelenggaraan urusan pendidikan yang efektif dan efisien.

TERIMA KASIH TUHAN KARENA TELAH MENCIPTAKAN ALAM SEMESTA YANG KAYA BAGI ORANG APLIM APOM PAPUA







Oleh: Agus Uropka 
 (Mahasiswa Papua, Kuliah Di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
Tanah adalah aset berharga yang dimiliki setiap suku bangsa di dunia, entah orang miskin atau orang kaya memiliki tanah sebagai hak ulayat yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya. Bagi suku bangsa Papua, tanah adalah harta kekayaan yang paling utama dan terutama yang diwariskan untuk anak cucunya secara turun temurun. Tanah hak ulayat tersebut dibagi berdasarkan suku dan marga-marga masing-masing, sehingga wajib dijaga dan kelolah untuk kehidupannya.

Pada dekade terakhir, tanah hak ulayat di Kabupaten Pegunungan Bintang Papua digadai atau diperjual belikan oleh oknum-oknum tertentu yang notabennya anak asli daerah yang haus akan kekuasaan. Tanah yang adalah berkat Tuhan yang mana telah amanatkan kepada manusia untuk menjaga isi perut bumi Aplim Apom Papua, seperti sumber daya alam (mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, hewan), budaya dan adat-stiadat, potensi ekonomi, pendidikan dan politik yang dahulunya berjalan dengan baik menurut pola hidup orang Aplim Apom, tetapi ketika pengaruh luar masuk dan era globalisasi semakin terbuka malah apa yang dibangun awalnya sudah semakin hari semakin hilang tertelan waktu.
Apa yang di harapkan oleh para leluhur dan tua-tua adat dulu, tidak dilakukan oleh masyarakat pribumi Aplim Apom, dan juga tidak diangkat oleh pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, sehingga boleh dibilang, masyarakat dan pemerintah telah membangun pemahaman yang keliru. Tanah yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan suku dan marga tidak lagi menjadi patokan, banyak pihak yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Tanah yang kaya akan sumber daya alam tersebut, yang harusnya dinikmati oleh seluruh orang Aplim Apom. Saat ini, kurang dari 20% disumber daya alam yang disentuh tidak dimanfaatkan oleh pejabat asli atau intelektual Aplim Apom, boleh dikatakan hasinya sia-sia karena dimanfaatkan oleh pihak luar untuk kepentingan mereka sendiri. Pemerintah daerah selalu apatis dengan persoalan pembangunan, mereka lebih memilih menggurus dirinya sendiri. Hal ini menjadi pertanyaan, Apakah manajemen sumber daya manusia (MSDM) dilingkungan pemerintah tidak dikelolah dengan baik, kalau baik tentunya peningkatan produktivitas kerja, kualitas hidup dan pelayanan publik akan baik. Ataukah mereka belum tahu tentang aturan adat, sehingga walaupun mereka tahu fungsionalitas kerja tetapi tidak mengangkat nilai-nilai luhur orang Aplim Apom sebagai pemilik hak ulayat.
“ Tanah Aplim Apom menjadi lapangan sepak bola bagi pejabat asli daerah” , pernyataan yang menjadi bahan refleksi bagi anak adat Aplim Apom. Semoga doa dan harapan kami senantiasa diberi petunjuk yang baik oleh yang Maha Kuasa, sehingga para pejabat menjadi konseptor pembangunan yang cerdas secara pengetahuan dan iman. Dengan demikian harapan akan pembangunan yang baik diwujudnyatakan untuk kepentingan bersama. Kalimat sebagai bahan refleksi “AIR HUJAN DIATAS DAUN TALAS” DI NEGERI SENDIRI