Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
demi mewujudkan adil dan makmur, maka dilakukan berbagai hal yang tentunya
mendukung tercapainnya adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena
mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia adalah tidak segampang wacana dan
kertas, namun dilakukan gerakan aksi nyata di lapangan dan tentunya
disamaratakan seluruh nusantra tanpa tendensi-tendensi politis, tendensi
budaya popular, hegemoni budaya, politik dan lainnya. Sekedar verbalisme
tanpa aktivisme adalah sebuah hal yang sia-sia. Sehingga diwujudnyatakan
dalam tindakan.
Adil dan makmur bagi seluruh rakyat
Indonesia, kini tinggal kenangan. Keadilan di negeri ini sudah tidak ada
lagi. Keadilan hanya bagi penguasa pemerintahaan dan para korporat. Sedangan
bagi rakyat adalah tinggal kenangan. Mereka (rakyat) hanya menjadi budak para
korporat dan penguasa Negara. Hukum hanya milik mereka penguasa, hanya untuk
para pejabat Negara. Sedangkan keadilan hukum bagi rakyat kecil, kaum miskin
dan tertindas hanyala ucapan jempol belaka.
Makmur, hanyala sebuah kata yang diucapkan
oleh para politikus dan penguasa pada saat kampanye. Verbalisme dan aktifisme
(realisasi atas verbalisme) adalah dua kata yang kontradiksi. Manusia sebagai
subjek atas kedua kata tersebut menjadi bimbang dan hanya kenangan gula-gula
politik para penguasa.
Adil dan makmur di negeri ini mati suri.
Rakyat menjadi budak para kapitalis, oportunis sampai pada politik dinasti
yang menyebabkan negeri ini porak porandakan semua dimensi kehidupan,
sehingga tidak terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat menjadi korban. Korban hegemoni budaya, ekonomi, sosial-politik.
Budaya luar menjadi tren di Indonesia, sedangkan budaya lokal ditindas dan
tidak digunakan oleh rakyat, sehingga Negara tetangga, Malaysia dengan
seenaknya mengambil budaya Indonesia untuk menjadikan sebagai budayannya. Hal
ini merupakan salah satu kasus hegemoni budaya dan hilangnya kebudayaan
masyarakat setempat.
Impelementasi pengelolaan pendidikan dasar
di Indonesia, menemui berbagai kendala teknis di lembaga pemerintahaan sampai
pada pelaksanaan di lapangan, sehingga berdampak pada ketidakonsistenan
pelaksanaan pendidikan dasar. Hal tersebut seperti Bank Dunia melaporkan
berikut ini.
Pertama, institusi-instiusi pemerintahaan yang
mengelola pendidikan dasar sanggat rumit dan kurang terorganisasi, yaitu
Depdiknas, Depdakri dan Depag. Depdiknas bertanggungjawab atas materi
pendidikan dan mutu teknis pendidikan seperti kurikulum, sertifikasi dan kualifikasi
guru, ujian siswa, penilaian buku teks dan kelayakan bahan ajaran.
Sedangkan Depdagri bertangungjawab tentang
ketenagaan, pengadaan saran/ para sarana dan sumber daya pendidikan lainnya,
termasuk rekrutmen tenaga guru, pembangunan gedung sekolah, dan segala aspek
fisik sekolah. Kemudian Depag bertangungjawab atas sekolah-sekolah keagamaan
baik berstatus negeri maupun swasta.
Kedua, berbeda dengan jenjang SD pengelolaan SMP
sepenuhnya dilakukan oleh depdiknas, sehingga tidak terjadi tangungjawab
ganda di mata pihak sekolah. Namun kebijakan pendidikan pada jenjang SMP
sangat sentralistik sementara invansi vetikal di daerah hanya melaksanakan
tugas petunjuk pusat. Menyangkut pembiayaan pembangunan ditentukan oleh
pemerintah pusat. Pada hal, idealnya, pemerintah daerah sepenuhnya
membelanjakan.
Ketiga,
anggaran pendidikan dikelola secara kaku
dan terkotak-kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang
menangganinya. Anggaran rutin (DIK) untuk pendidikan disiapkan oleh tiga
instansi, Depkeu, Depdiknas, dan Depdagri. Sementra itu, banyak instansi
pemerintahan yang dikelola diantaranya Depkeu, Bappenas, depdiknas, depdagri,
dan depag dan di pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
Keempat, manajemen pada tingkat sekolah yang tidak
efektif. Ketidakefektifan di tingkat sekolah memicu ketidakonsistenan dalam
pelaksanaan dan pengelolaan dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah pusat
terkait dengan pelaksanaan pendidikan dasar di seluruh Indonesia.
Secara rinci bank dunia melaporkan bahwa
pendidikan nasional di Indonesia komplesk dan sentralistik, serta tidak
efisiennya pengelolaan tingkat sekolah yang terutama disebabkan oleh
keterbatasan otonomi dan kemampuan manajerial/ kepemimpinan kepala sekolah,
merupakan kendala utama wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia.
Dengan demikian, atas dasar itu, laporan
bank dunia, pemerintah Indonesia melakukan efaluasi besar-besaran. Dari hasil
efaluasi tersebut kemudian hasilnya merekomendasikan kepada pemerintah untuk
ditetapkan. Hasil kerja (pokja) kemudian menetapkan dengan konsep pendidikan
desentralisasi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan dasar.
Pendidikan dasar adalah mencakup sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
pertama (SMP), dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
urusan pemerintahaan kepada daerah sehingga wewenang dan tangungjawab
sepenuhnya menjadi tangungjawab daerah, termasuk didalamnya penentuan
kebijakan prencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan
dan aparatnya.
Ranis (1994) pemerintah pusat menyerakhkan
kekuasaan kepada pengambil keputusan di tingkat daerah.
Dengan demikian, desentralisasi merupakan
suatu proses dimana semua kewenangan, kebijakan, tugas, proses,
implementasinya diberikan dari lembaga pemerintahan dan maupun non lembaga
pemerintahan yang lebih tinggi (lembaga penguasaan yang lebih berkuasa)
memberikan hak penuh kepada lembaga pemerintahan dan atau non pemerintahan
yang lebih rendah untuk selanjutnya dapat menjalankan sesuai dengan tupoksi
masing-masing lembaga baik lembaga adat, lembaga pemerintah, lembaga agama.
Secara umum tujuan desentralisasi adalah
untuk (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campurtangan tentang
masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan penegrtian rakyat
serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan social ekonomi, (3)
menyusun perbaikan perbaikan social ekonomi pada tingkat lokal yang lebih
realistis, (4) melatih rakyat untuk mengatur urusannya sendiri, (5) membina
kesatuan nasional.
Dalam rangka implementasi pendidikan dasar,
pemerintah menetapkan berbagai regulasi. Regulasi tersebut menjadi landasan
hukum, sehingga dalam pelaksanannya tidak terjadi hambatan. Dan tentunya,
mendorong terwujudnya harapan bangsa dan Negara.
UU
No. 5 tahun 1974
Urusan SDM dan keuangannya diatur oleh
Daerah, sedangkan urusan-urusan pemerintah umum tidak diperbolehkan seperti
ketentraman dan ketertiban, politik, koordiansi, pengawasan dan lainnya.
Peraturan
pemerintah No. 8 Tahun 1995
Mengatur tentang sebagian urusan pemerintah
diserahkan kepada 26 Dati II percontohan. Urusan-urusan yang diberikan
diantarnya pertanian, peternakan, perikanan darat, perkebunan transmigrasi
dan pembinaan perambah hutan, sosaol, koperasi, dan lainnya.
Peraturan
pemerintah No. 65 tahun 1951.
Melalui PP No. 65 Tahun 1951 sebagian
urusan pemerintah pusat di lapangan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
diserahkan kepada provinsi. Provinsi yang dimaksud hanya meliputi 7 provinsi,
yaitu Jawa Timur, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera
Tengah, Sumatera Utara. Selain itu, provinsi lain urusan pendidikan dan
kebudayaan masih dilaksanakan oleh Pusat.
Selanjutnya PP No. 65 Tahun 1951
diberlakukan untuk seluruh provinsi di Indonesia melalui daerah.
PP
No. 28 Tahun 1990
Dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, sistem pendiidkan
perluh untuk di tata dan dikembangkan dengan baik. 1989 ditetapkan UU No. 2
Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Penjabaran UU ini dituangkan
dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar.
Kepmendikbud
No. 0128/o/1995
Mengatur tentang organisasi dan tata kerja
kantor inpeksi depdikbud kabupaten dati II percontohan. Tujuan:
mengantisipasi kesenjangan yg mungkin terjadi dalm pengalihan tugas-tugas,
seperti pembinaan sekolah dasar.
Sudah sangat jelas pelaksanan pendidikan
dasar di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah pusat sepenuhnya telah
menyerahkan kewenangan kepada daerah didukung dengan produk hukum yang jelas
pula. Regulasi tersebut sangat membantu bagi penyelenggara pendidikan dasar
di daerah. Saya rasa pemerintah daerah tidak ragu untuk dilakukan, namun
pemerintah daerah (pejabat terkait) terjadi berhanggapan bahwa masi
dikendalikan oleh pemerintah pusat dan bertentangan dengan perundang-undangan
yang lain.
Bagaimana
dengan Papua?
Semangat UU otonomi khusus bagi provinsi
Papua dan provinsi Papua Barat dan berbagai regulasi yang disebutkan di atas
saya rasa amat sangat jelas bahwa pelaksanaan pendidikan dasar di Papua sangat
tidak bertentangan. Seerti disebutkan dalam UU Otsus tentang pendidikan dan
kebudayaan yang tertera pada pasal 56.57,58 dengan jelas dan tegas mengatakan
demikian. Tergantung bagaiman pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten
membuat Perdasi dan perdasus untuk implementasi regulasi ini.
Dalam rangka implementasi regulasi yang
dibuat oleh pemerintah indonsia (pemerintah pusat), pemerintah daerah
provinsi, kabupaten/kota membuat peraturan pemerintah (PP) atau perdasi dan
perdasus untuk dapat dilaksakan agar dirasakan oleh seluruh rakyat Papua. hal
ini sangat penting karena selama ini regulasi yang dibuat hanya sebatas
wacana dalam kertas, sedangkan diimplementasikan di lapangan belum nampak.
Akibat dari belum adanya implementasi regulasi tersebut, masyarakat secara
umum melakukan hal-hal yang bertentangan dengan produk UU yang ada.
Para pemangku kepentingan di daerah perluh
ada pemahaman khusus tentang bagaimana menterjemahkan regulasi yang ada, demi
menunjang program yang sudah di prioritaskan. Bahasa daerah misalnya, suda
jelas diatur dalam UU Otsus, pada pasal 58, poin 3 menjelaskan demikian.
Bahwa Bahasa daerah menjadi bahasa pengantar di sekolah dasar. Sekolah dasar
maksud di sini adalah SD, SMP dan sederajat.
Pengelolaan pendidikan dasar di Papua saya
rasa belum sepenuhnya dilaksanakan. Dinas terkait masih pontang panting, miaslnya
di Kabupaten Pegunungan Bintang belum ada regulasi yang jelas menyangkut
mendukung pengelolaan pendidikan dasar. Saya rasa dinas terkait libatkan para
akademisi dan para pemangku kepentingan untuk menyusun pedoman-pedoman
pelaksanaan pendidikan dasar agar bias terwujd. Misalnya bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Badan
ini menyususn buku tentang pelajaran bahasa daerah, kurikulum dan lannya.
Pemerintah dan legislative terlibat secara langsung menyusun pedoman
pembelajaran ini. Sehingga seluruh masyarakat di Pg.Bintang merasakan
kebijakan pemerintah tentang bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran
di jenjang pendidikan dasar. Semoga!
.
|
Jumat, 29 November 2013
PENGELOLAAN PENDIDIKAN DASAR DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PENDIDIKAN
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara
Republik Indonesia
melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran
Negara Tahun 2001 No. 135
dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu
No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN
No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur
kewenangan-kewenangan Provinsi
Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam
UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi
Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku
secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian
Barat kemudian berganti
menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada hakikatnya
mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya
memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM)
di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran
dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa
Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia
pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi
Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang
positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus
merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi
berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah
di Provinsi Papua.
Legislatif
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua
dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali
dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Provinsi
Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah
kursi DPRP adalah 125 kursi.
Eksekutif
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh
seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur
dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di
Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan
syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan
syarat-syarat:
- orang asli Papua;
- setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
- tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
- tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
MRP
Peradilan
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh
Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping
kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat
hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa
perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku
pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta
mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang
sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada
hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para
anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman
pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana
yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat
pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
Pendidikan berkualitas menjadi faktor penting dalam membangun.
Pemerintah telah mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20 persen.
Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah telah diatur dengan PP 38 tahun
2007. Namun saat ini, Pendidikan di daerah perbatasan masih belum layak yang
ditandai dengan tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Hal ini harus
menjadi perhatian semua pihak khususnya pemerintah dalam membangun pendidikan
di daerah perbatasan . Oleh karena itu, pembagian peran dan kewenangan yang
jelas antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota dalam pendidikan
perbatasan menjadi sangat penting.
Pendahuluan
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan dengan kualitas sumber daya
manusia (SDM) yang dimilikinya. Semakin berkualitas SDM maka
semakin maju dan sejahtera negara tesebut, sebagai contoh Jepang, Singapura dan
Malaysia, dan lainnya. Sedangkan, kualitas SDM ditentukan dengan kualitas
pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang berkualitas menjadi faktor penting
bagi kemajuan suatu negara. Semakin berkualitas pendidikan maka semakin maju
negara dan sebaliknya. Kesadaran tersebut sepertinya telah menggugah nurani
penyelengara negara kita untuk mengamanatkan 20 persen dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) mulai tahun
2008 dialokasikan pada bidang pendidikan. Tentunya hal tersebut menjadi bukti
keseriusan dan perhatian yang sangat serius dari negara terhadap pendidikan.
Alokasi 20 persen tersebut merupakan anggaran untuk mencerdaskan seluruh
rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari perkotaan sampai
pedesaan, dari pusat sampai perbatasan sebagai ujung negara. Sehingga, setiap
masyarakat idealnya memiliki akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
layak dan berkualitas. Hal ini tentunya terlepas dari letak wilayah atau daerah
masyarakat tersebut tinggal. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas serta penyebaran penduduk
yang tidak merata. Penyebaran tersebut lebih terkonsentrasi di pulau jawa,
kota-kota besar provinsi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sedangkan lainnya
terpencar di daerah terpencil dan perbatasan negara.
Dalam tulisan ini, penulis tertarik mengangkat dan membahas
penyelenggaraan pelayanan urusan pendidikan di daerah perbatasan. Beberapa
alasan penting menurut penulis untuk mengangkat hal ini antara lain pertama Sebagian
besar masyarakat perbatasan merupakan masyarakat dalam katagori miskin kedua
Masyarakat perbatasan sulit dalam mendapatkan akses pendidikan yang layak ketiga
Tingkat kelulusan Ujian Nasional masih rendah keempat Masih
tingginya tingkat buta huruf masyarakat perbatasan. Sebagai contoh kasus
ratusan bahkan ribuan Anak usia sekolah di wilayah perbatasan kabupaten
Nunukan, Kalimantan timur tidak bisa mendapat pendidikan layak. Mereka terpaksa
memilih putus sekolah lantaran terbentur sarana dan prasana pendidikan.[2]
Selanjuntya, Angka buta huruf di Nusa Tenggara Timur sekarang ini masih cukup
tinggi. Sampai akhir September 2006 tercatat 370.710 warga yang buta
huruf serta hampir 80 persen berada di desa-desa terpencil dan
sulit dijangkau. Berbagai kasus tersebut tentunya harus menjadi perhatian semua
penyelenggara urusan pemerintahan bidang pendidikan untuk mewujudkan pendidikan
berkualitas di daerah perbatasan.
Selanjuntya yang menjadi pertanyaan besar adalah siapa yang memiliki
tanggung jawab dan wewenang dalam meningkatkan kualias pendidikan di daerah
perbatasan ? Tentunya pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
serta masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya yakni
bagaimana pembagian peran tersebut ? Kenapa hal tersebut menjadi sangat penting
? karena dengan pembagian yang proposional akan menciptakan penyelenggaraan
urusan pendidikan yang efektif dan efisien.
TERIMA KASIH TUHAN KARENA TELAH MENCIPTAKAN ALAM SEMESTA YANG KAYA BAGI ORANG APLIM APOM PAPUA
Oleh: Agus Uropka
(Mahasiswa Papua, Kuliah Di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta)
Tanah adalah aset berharga yang dimiliki setiap
suku bangsa di dunia, entah orang miskin atau orang kaya memiliki tanah
sebagai hak ulayat yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya.
Bagi suku bangsa Papua, tanah adalah harta kekayaan yang paling utama dan
terutama yang diwariskan untuk anak cucunya secara turun temurun. Tanah hak
ulayat tersebut dibagi berdasarkan suku dan marga-marga masing-masing,
sehingga wajib dijaga dan kelolah untuk kehidupannya.
Pada dekade terakhir, tanah hak ulayat di Kabupaten
Pegunungan Bintang Papua digadai atau diperjual belikan oleh oknum-oknum
tertentu yang notabennya anak asli daerah yang haus akan kekuasaan. Tanah
yang adalah berkat Tuhan yang mana telah amanatkan kepada manusia untuk
menjaga isi perut bumi Aplim Apom Papua, seperti sumber daya alam (mineral,
tumbuh-tumbuhan, binatang, hewan), budaya dan adat-stiadat, potensi ekonomi,
pendidikan dan politik yang dahulunya berjalan dengan baik menurut pola hidup
orang Aplim Apom, tetapi ketika pengaruh luar masuk dan era globalisasi
semakin terbuka malah apa yang dibangun awalnya sudah semakin hari semakin
hilang tertelan waktu.
Apa yang di harapkan oleh para leluhur dan tua-tua
adat dulu, tidak dilakukan oleh masyarakat pribumi Aplim Apom, dan juga tidak
diangkat oleh pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, sehingga boleh
dibilang, masyarakat dan pemerintah telah membangun pemahaman yang keliru.
Tanah yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan suku dan marga tidak
lagi menjadi patokan, banyak pihak yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaan
untuk kepentingannya sendiri.
Tanah yang kaya akan sumber daya alam tersebut,
yang harusnya dinikmati oleh seluruh orang Aplim Apom. Saat ini, kurang dari
20% disumber daya alam yang disentuh tidak dimanfaatkan oleh pejabat asli
atau intelektual Aplim Apom, boleh dikatakan hasinya sia-sia karena
dimanfaatkan oleh pihak luar untuk kepentingan mereka sendiri. Pemerintah
daerah selalu apatis dengan persoalan pembangunan, mereka lebih memilih
menggurus dirinya sendiri. Hal ini menjadi pertanyaan, Apakah manajemen
sumber daya manusia (MSDM) dilingkungan pemerintah tidak dikelolah dengan
baik, kalau baik tentunya peningkatan produktivitas kerja, kualitas hidup dan
pelayanan publik akan baik. Ataukah mereka belum tahu tentang aturan adat,
sehingga walaupun mereka tahu fungsionalitas kerja tetapi tidak mengangkat
nilai-nilai luhur orang Aplim Apom sebagai pemilik hak ulayat.
“ Tanah Aplim Apom menjadi lapangan sepak bola
bagi pejabat asli daerah” , pernyataan yang menjadi bahan refleksi bagi anak
adat Aplim Apom. Semoga doa dan harapan kami senantiasa diberi petunjuk yang
baik oleh yang Maha Kuasa, sehingga para pejabat menjadi konseptor
pembangunan yang cerdas secara pengetahuan dan iman. Dengan demikian harapan
akan pembangunan yang baik diwujudnyatakan untuk kepentingan bersama. Kalimat
sebagai bahan refleksi “AIR HUJAN DIATAS DAUN TALAS” DI NEGERI SENDIRI
|
Langganan:
Postingan (Atom)