Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
demi mewujudkan adil dan makmur, maka dilakukan berbagai hal yang tentunya
mendukung tercapainnya adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena
mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia adalah tidak segampang wacana dan
kertas, namun dilakukan gerakan aksi nyata di lapangan dan tentunya
disamaratakan seluruh nusantra tanpa tendensi-tendensi politis, tendensi
budaya popular, hegemoni budaya, politik dan lainnya. Sekedar verbalisme
tanpa aktivisme adalah sebuah hal yang sia-sia. Sehingga diwujudnyatakan
dalam tindakan.
Adil dan makmur bagi seluruh rakyat
Indonesia, kini tinggal kenangan. Keadilan di negeri ini sudah tidak ada
lagi. Keadilan hanya bagi penguasa pemerintahaan dan para korporat. Sedangan
bagi rakyat adalah tinggal kenangan. Mereka (rakyat) hanya menjadi budak para
korporat dan penguasa Negara. Hukum hanya milik mereka penguasa, hanya untuk
para pejabat Negara. Sedangkan keadilan hukum bagi rakyat kecil, kaum miskin
dan tertindas hanyala ucapan jempol belaka.
Makmur, hanyala sebuah kata yang diucapkan
oleh para politikus dan penguasa pada saat kampanye. Verbalisme dan aktifisme
(realisasi atas verbalisme) adalah dua kata yang kontradiksi. Manusia sebagai
subjek atas kedua kata tersebut menjadi bimbang dan hanya kenangan gula-gula
politik para penguasa.
Adil dan makmur di negeri ini mati suri.
Rakyat menjadi budak para kapitalis, oportunis sampai pada politik dinasti
yang menyebabkan negeri ini porak porandakan semua dimensi kehidupan,
sehingga tidak terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat menjadi korban. Korban hegemoni budaya, ekonomi, sosial-politik.
Budaya luar menjadi tren di Indonesia, sedangkan budaya lokal ditindas dan
tidak digunakan oleh rakyat, sehingga Negara tetangga, Malaysia dengan
seenaknya mengambil budaya Indonesia untuk menjadikan sebagai budayannya. Hal
ini merupakan salah satu kasus hegemoni budaya dan hilangnya kebudayaan
masyarakat setempat.
Impelementasi pengelolaan pendidikan dasar
di Indonesia, menemui berbagai kendala teknis di lembaga pemerintahaan sampai
pada pelaksanaan di lapangan, sehingga berdampak pada ketidakonsistenan
pelaksanaan pendidikan dasar. Hal tersebut seperti Bank Dunia melaporkan
berikut ini.
Pertama, institusi-instiusi pemerintahaan yang
mengelola pendidikan dasar sanggat rumit dan kurang terorganisasi, yaitu
Depdiknas, Depdakri dan Depag. Depdiknas bertanggungjawab atas materi
pendidikan dan mutu teknis pendidikan seperti kurikulum, sertifikasi dan kualifikasi
guru, ujian siswa, penilaian buku teks dan kelayakan bahan ajaran.
Sedangkan Depdagri bertangungjawab tentang
ketenagaan, pengadaan saran/ para sarana dan sumber daya pendidikan lainnya,
termasuk rekrutmen tenaga guru, pembangunan gedung sekolah, dan segala aspek
fisik sekolah. Kemudian Depag bertangungjawab atas sekolah-sekolah keagamaan
baik berstatus negeri maupun swasta.
Kedua, berbeda dengan jenjang SD pengelolaan SMP
sepenuhnya dilakukan oleh depdiknas, sehingga tidak terjadi tangungjawab
ganda di mata pihak sekolah. Namun kebijakan pendidikan pada jenjang SMP
sangat sentralistik sementara invansi vetikal di daerah hanya melaksanakan
tugas petunjuk pusat. Menyangkut pembiayaan pembangunan ditentukan oleh
pemerintah pusat. Pada hal, idealnya, pemerintah daerah sepenuhnya
membelanjakan.
Ketiga,
anggaran pendidikan dikelola secara kaku
dan terkotak-kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang
menangganinya. Anggaran rutin (DIK) untuk pendidikan disiapkan oleh tiga
instansi, Depkeu, Depdiknas, dan Depdagri. Sementra itu, banyak instansi
pemerintahan yang dikelola diantaranya Depkeu, Bappenas, depdiknas, depdagri,
dan depag dan di pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
Keempat, manajemen pada tingkat sekolah yang tidak
efektif. Ketidakefektifan di tingkat sekolah memicu ketidakonsistenan dalam
pelaksanaan dan pengelolaan dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah pusat
terkait dengan pelaksanaan pendidikan dasar di seluruh Indonesia.
Secara rinci bank dunia melaporkan bahwa
pendidikan nasional di Indonesia komplesk dan sentralistik, serta tidak
efisiennya pengelolaan tingkat sekolah yang terutama disebabkan oleh
keterbatasan otonomi dan kemampuan manajerial/ kepemimpinan kepala sekolah,
merupakan kendala utama wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia.
Dengan demikian, atas dasar itu, laporan
bank dunia, pemerintah Indonesia melakukan efaluasi besar-besaran. Dari hasil
efaluasi tersebut kemudian hasilnya merekomendasikan kepada pemerintah untuk
ditetapkan. Hasil kerja (pokja) kemudian menetapkan dengan konsep pendidikan
desentralisasi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan dasar.
Pendidikan dasar adalah mencakup sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
pertama (SMP), dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
urusan pemerintahaan kepada daerah sehingga wewenang dan tangungjawab
sepenuhnya menjadi tangungjawab daerah, termasuk didalamnya penentuan
kebijakan prencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan
dan aparatnya.
Ranis (1994) pemerintah pusat menyerakhkan
kekuasaan kepada pengambil keputusan di tingkat daerah.
Dengan demikian, desentralisasi merupakan
suatu proses dimana semua kewenangan, kebijakan, tugas, proses,
implementasinya diberikan dari lembaga pemerintahan dan maupun non lembaga
pemerintahan yang lebih tinggi (lembaga penguasaan yang lebih berkuasa)
memberikan hak penuh kepada lembaga pemerintahan dan atau non pemerintahan
yang lebih rendah untuk selanjutnya dapat menjalankan sesuai dengan tupoksi
masing-masing lembaga baik lembaga adat, lembaga pemerintah, lembaga agama.
Secara umum tujuan desentralisasi adalah
untuk (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campurtangan tentang
masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan penegrtian rakyat
serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan social ekonomi, (3)
menyusun perbaikan perbaikan social ekonomi pada tingkat lokal yang lebih
realistis, (4) melatih rakyat untuk mengatur urusannya sendiri, (5) membina
kesatuan nasional.
Dalam rangka implementasi pendidikan dasar,
pemerintah menetapkan berbagai regulasi. Regulasi tersebut menjadi landasan
hukum, sehingga dalam pelaksanannya tidak terjadi hambatan. Dan tentunya,
mendorong terwujudnya harapan bangsa dan Negara.
UU
No. 5 tahun 1974
Urusan SDM dan keuangannya diatur oleh
Daerah, sedangkan urusan-urusan pemerintah umum tidak diperbolehkan seperti
ketentraman dan ketertiban, politik, koordiansi, pengawasan dan lainnya.
Peraturan
pemerintah No. 8 Tahun 1995
Mengatur tentang sebagian urusan pemerintah
diserahkan kepada 26 Dati II percontohan. Urusan-urusan yang diberikan
diantarnya pertanian, peternakan, perikanan darat, perkebunan transmigrasi
dan pembinaan perambah hutan, sosaol, koperasi, dan lainnya.
Peraturan
pemerintah No. 65 tahun 1951.
Melalui PP No. 65 Tahun 1951 sebagian
urusan pemerintah pusat di lapangan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
diserahkan kepada provinsi. Provinsi yang dimaksud hanya meliputi 7 provinsi,
yaitu Jawa Timur, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera
Tengah, Sumatera Utara. Selain itu, provinsi lain urusan pendidikan dan
kebudayaan masih dilaksanakan oleh Pusat.
Selanjutnya PP No. 65 Tahun 1951
diberlakukan untuk seluruh provinsi di Indonesia melalui daerah.
PP
No. 28 Tahun 1990
Dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, sistem pendiidkan
perluh untuk di tata dan dikembangkan dengan baik. 1989 ditetapkan UU No. 2
Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Penjabaran UU ini dituangkan
dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar.
Kepmendikbud
No. 0128/o/1995
Mengatur tentang organisasi dan tata kerja
kantor inpeksi depdikbud kabupaten dati II percontohan. Tujuan:
mengantisipasi kesenjangan yg mungkin terjadi dalm pengalihan tugas-tugas,
seperti pembinaan sekolah dasar.
Sudah sangat jelas pelaksanan pendidikan
dasar di seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah pusat sepenuhnya telah
menyerahkan kewenangan kepada daerah didukung dengan produk hukum yang jelas
pula. Regulasi tersebut sangat membantu bagi penyelenggara pendidikan dasar
di daerah. Saya rasa pemerintah daerah tidak ragu untuk dilakukan, namun
pemerintah daerah (pejabat terkait) terjadi berhanggapan bahwa masi
dikendalikan oleh pemerintah pusat dan bertentangan dengan perundang-undangan
yang lain.
Bagaimana
dengan Papua?
Semangat UU otonomi khusus bagi provinsi
Papua dan provinsi Papua Barat dan berbagai regulasi yang disebutkan di atas
saya rasa amat sangat jelas bahwa pelaksanaan pendidikan dasar di Papua sangat
tidak bertentangan. Seerti disebutkan dalam UU Otsus tentang pendidikan dan
kebudayaan yang tertera pada pasal 56.57,58 dengan jelas dan tegas mengatakan
demikian. Tergantung bagaiman pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten
membuat Perdasi dan perdasus untuk implementasi regulasi ini.
Dalam rangka implementasi regulasi yang
dibuat oleh pemerintah indonsia (pemerintah pusat), pemerintah daerah
provinsi, kabupaten/kota membuat peraturan pemerintah (PP) atau perdasi dan
perdasus untuk dapat dilaksakan agar dirasakan oleh seluruh rakyat Papua. hal
ini sangat penting karena selama ini regulasi yang dibuat hanya sebatas
wacana dalam kertas, sedangkan diimplementasikan di lapangan belum nampak.
Akibat dari belum adanya implementasi regulasi tersebut, masyarakat secara
umum melakukan hal-hal yang bertentangan dengan produk UU yang ada.
Para pemangku kepentingan di daerah perluh
ada pemahaman khusus tentang bagaimana menterjemahkan regulasi yang ada, demi
menunjang program yang sudah di prioritaskan. Bahasa daerah misalnya, suda
jelas diatur dalam UU Otsus, pada pasal 58, poin 3 menjelaskan demikian.
Bahwa Bahasa daerah menjadi bahasa pengantar di sekolah dasar. Sekolah dasar
maksud di sini adalah SD, SMP dan sederajat.
Pengelolaan pendidikan dasar di Papua saya
rasa belum sepenuhnya dilaksanakan. Dinas terkait masih pontang panting, miaslnya
di Kabupaten Pegunungan Bintang belum ada regulasi yang jelas menyangkut
mendukung pengelolaan pendidikan dasar. Saya rasa dinas terkait libatkan para
akademisi dan para pemangku kepentingan untuk menyusun pedoman-pedoman
pelaksanaan pendidikan dasar agar bias terwujd. Misalnya bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Badan
ini menyususn buku tentang pelajaran bahasa daerah, kurikulum dan lannya.
Pemerintah dan legislative terlibat secara langsung menyusun pedoman
pembelajaran ini. Sehingga seluruh masyarakat di Pg.Bintang merasakan
kebijakan pemerintah tentang bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran
di jenjang pendidikan dasar. Semoga!
.
|
Jumat, 29 November 2013
PENGELOLAAN PENDIDIKAN DASAR DALAM KONTEKS DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda disini